Selasa, 26 November 2024

Hidangan Halal dan Nasi Anjing: Rasa Agama di Sosial Media

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
‘Nasi Anjing’ membuat heboh warga di Tanjung Priok, Jakarta. (Foto: Indozone)

Oleh: Prof DR Iswandi Syahputra

Seingat saya suatu saat Pak Jusuf Kalla pernah menyampaikan, “Coba bagaimana korupsi itu seperti makan babi saja dikampanyekan?”. Maksudnya, babi itu hewan yang diharamkan dalam Islam. Stigma haram ini sangat kuat, sehingga mendengar babi saja sudah menimbulkan (maaf) rasa jijik.

Setidaknya itu yang saya rasakan dari kecil hingga saat ini ketika saya beberapa kali berinteraksi dengan saudara non-Muslim, barulah dapat menetralisirnya.

Seperti babi, kedudukan hewan anjing juga demikian walaupun ada beberapa dalil yang membolehkan memelihara anjing. Anjing dan babi dalam kedudukan sebagai hewan yang haram dengan tingkat keharaman yang kuat menjadi stigma negatif dalam pikiran umat Islam. Stigma negatif dalam pikiran terhadap objek hewan babi dan anjing ini kemudian saat meleleh keluar dari pikiran menjadi wujud yang dapat dilihat dan dirasakan berubah menjadi hal yang sangat sensitif, peka sekali rasanya.

Pada masa awal saya bersahabat dengan beberapa kawan non Muslim, mereka juga belum memahami sensitifnya soal rasa tersebut. Dalam banyak kesempatan, sambil santap siang, membahas daging babi. Selera makan saya langsung hilang, tapi saya tahan karena saya ingin toleran.

Namun, pada kesempatan lain saat bersantap di restoran sahabat tadi memesan menu daging babi. Satu meja sama-sama makan dengan menu yang sensitif di lidah dan rasa saya. Sejak itu saya berpikir dan belajar, jika daging babi itu haram, jika rokok itu haram, apa bedanya makan di hadapan daging babi dengan makan di hadapan sebatang rokok?

Perlahan saya mulai dapat mentolerir rasa dan stigma saya pada daging babi. Kemudian, saya terbiasa makan bersama sahabat non Muslim dengan menu berbeda. Saya pesan daging kambing, dia pesan daging babi.

Namun, stigma jijik pada babi dan anjing tersebut mungkin masih banyak bersemayam dalam pikiran umat Muslim lainnya. Maka, membagikan “Nasi Anjing” dengan niat baik membantu saudara kita terdampak Covid-19, seperti ramai diributkan netizen dan diberitakan menjadi hal yang sensitif karena menyangkut rasa beragama.

****

Tapi menariknya, di media sosial umat Muslim yang membahas ini dengan nada menolak “Nasi Anjing” tersebut justru dibully. “Makan nasi Kucing mau, diberi nasi Anjing koq menolak?”, begitu narasi argumennya.

Kedudukan Kucing dan Anjing dalam hukum Islam berbeda. Biar ahli syariat saja yang menjelaskan ini. Saya hanya memberi pandangan dalam perspektif aktivitas netizen di media sosialnya. Kita makan di sebalah kucing, pasti beda rasanya makan di sebalah anjing.

Jadi, ini juga menjadi persoalan semiotika bahasa, sebab orang marah (terutama di Indonesia) jarang mengumpat dengan sebutan, Kucing!

Ini pun soal rasa… Jadi jika ada netizen yang keberatan dengan istilah “Nasi Anjing” jangan dihakimi tidak toleran. Beragamalah dengan damai, ceria, tertib dan saling menghargai.

Soal rasa beragama ini juga terjadi pada saudara kita Hindu di India (bahkan di Bali). Untuk menjaga rasa beragama yang damai, ulama Islam di India menghimbau umat muslim tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban. Ini karena Sapi adalah hewan suci bagi keyakinan tertentu.

Belajar dari toleransi beragama tersebut, sebaik apapun alasan dan motifnya, perdamaian kebersamaan dan persaudaraan di antara kita sebaiknya tetap memakai dan menjaga rasa beragama. Rasa beragama ini, harus dijaga bersama. Agama tanpa rasa, akan sirna dan hampa.

Salah satu rasa agama tersebut pernah hampir sirna lima tahun lalu. Saat Ramadhan umat muslim menjalankan ibadah puasa, ramai di media sosial sekelompok netizen menyerukan agar orang yang berpuasa menghormati orang yang tidak berpuasa.

Nah, kalau rasa toleransi seperti ini diikuti, nanti kita bisa sampai pada rasa untuk mentoleransi korupsi karena dana korupsi bisa dipakai buat kebaikan seperti umrah misalnya. Toleransi pada LGBT, karena itu pilihan takdir, toleransi pada kriminalitas karena kesulitan ekonomi dan toleran pada semua keburukan karena setiap keburukan selalu punya alasan kebaikan.

Begitukah? Jika iya, toleransi justru menjanjikan kengerian yang luar biasa…***

Penulis merupakan Guru Besar Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Artikel ini sudah dipublikasi di laman Ihram


Eksplorasi konten lain dari Riaunews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

 

Tinggalkan Balasan