Jakarta (Riaunews.com) – Polemik yang ada dalam RUU Omnibus law Cipta Lapangan Kerja (Cipta Kerja) seolah tak ada habis-habisnya. Sejumlah pasal yang sedang dibahas di DPR masih saja menemui kejanggalan.
Selain masalah terkait buruh, kini ditemui ada juga sejumlah pasal yang mengancam keberlangsungan biro perjalanan haji dan umrah lokal.
Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengungkapkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyediakan ruang intervensi bagi pengusaha asing atau non-muslim untuk menyelenggarakan usaha perjalanan ibadah umrah.
Menurutnya, UU yang ada sejauh ini telah melindungi umat Islam, khususnya biro perjalanan muslim dan jemaah umrah. Tetapi draf Omnibus Law mengubah ketentuan krusial pada pasal eksisting UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).
“Ada ancaman serius bagi jemaah umrah maupun penyelenggara umrah jika dihadapkan dengan Omnibus Law. Tidak hanya tentang adanya potensi desakralisasi ibadah umrah, tetapi juga menyangkut aspek perlindungan umat Islam, baik pengusaha biro perjalanan muslim dalam negeri maupun jemaah yang terancam oleh ketentuan baru yang diatur dalam draft Omnibus Law yang mengubah pasal 89 UU No. 8/2019,” ungkap Bukhori dalam keterangannya, di Jakarta, Ahad (10/5/2020).
Pada Bagian Ketiga tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pasal 89 UU No. 8/2019 disebutkan, untuk mendapatkan izin menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan: (a) dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam.
Sedangkan, dalam draft Omnibus Law Paragraf 14 Keagamaan Pasal 75 tentang pengubahan beberapa ketentuan dalam UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).
Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Bukhori memandang, kalimat “persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat” dalam draft Omnibus Law sangat ambigu. Bahkan, membuka peluang untuk menegasikan ketentuan terkait persyaratan untuk mendapatkan izin menjadi PPIU, yakni muslim dan WNI sebagaimana tercantum pada UU eksisting.
“Tidak ada persyaratan yang jelas untuk memperoleh izin PPIU sebagaimana tertera dalam draft Omnibus Law. Artinya, asing dan/ atau non-muslim juga berpeluang bukan untuk memperoleh izin PPIU? Sebab, dalam ketentuan yang baru tersebut belum diatur secara spesifik terkait persyaratan,” lanjut Bukhori sebagaimana dilansir Kumparan.
Secara filosofis pasal 89 UU UU No 8 Tahun 2019 merepresentasikan suara batin umat Islam. Dalam kerangka hukum tersebut ada peran negara yang melindungi umat Islam, khususnya pengusaha biro perjalanan muslim dan jemaah umrah.
Namun, pengubahan pasal dengan menghilangkan syarat WNI dan Muslim membuka ruang intervensi bagi pihak non-muslim yang tidak memahami syariat Islam untuk menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah.
Implikasinya adalah jemaah umrah berpotensi tidak terbimbing secara benar dan optimal dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan kaidah syariat. Artinya, secara substansi, ketentuan draft Omnibus Law bertentangan dengan UU eksisting No 8 Tahun 2019.
“Ini yang saya maksud desakralisasi. Ketika penyelenggaraan ibadah dimaknai secara sempit, yakni dengan kacamata bisnis semata. Perjalanan umrah adalah perjalanan menuju rumah Allah sehingga kaidah syariat pun harus diperhatikan dalam perjalanan suci tersebut,” tutur dia.
“Ketika penyelenggaraannya dilakukan oleh non-muslim yang tidak mampu memahami esensi spiritual ibadah umrah, ini seperti membuka ruang untuk menghilangkan makna kesucian ibadah umrah. Sebab, ada kemungkinan tidak terbimbingnya jemaah secara benar dan maksimal dalam melaksanakan ibadah umrah,” tegas Bukhori.
Anggota Komisi VIII DPR RI ini mengungkapkan, jika draft Omnibus Law ini disahkan, maka sangat mungkin sejumlah fintech yang dimiliki oleh non muslim dan asing untuk menguasai ranah sensitif dan strategis ini, yakni penyelenggaraan ibadah umrah.***