Surabaya (Riaunews.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur meminta kepada seluruh kepala daerah di Jatim untuk membuka atau mengaktifkan kembali masjid dan musala.
“Kami telah mengirimkan hasil analisis dan evaluasi penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jawa Timur terkait dengan kegiatan di rumah ibadah muslim,” ujar Sekretaris MUI Jatim Ainul Yaqin saat dikonfirmasi Jatimnow, Sabtu (9/5/2020).
Surat sebanyak 16 lembar tertanggal 9 Ramadhan 1441 H atau 2 Mei 2020 itu ditandatangani oleh Ketua Umum MUI Jatim KH Abdushomad Buchori dan Sekretaris Umum H Ainul Yaqin.
Dalam surat dijelaskan mulai dari dasar pemikiran, sudut pandang ajaran Islam terkait kegiatan keagamaan di rumah ibadah hubungannya dengan pencegahan COVID-19.
Terkait dengan ibadah jemaah salat maktubah atau salat lima waktu, terkait dengan ibadah Ramadhan, terkait dengan memakmurkan masjid, terkait dengan ibadah di saat menghadapi musibah COVID-19.
Surat tersebut juga menjelaskan peraturan terkait dengan pelaksanaan PSBB di Jawa Timur. Tinjauan implementasi kebijakan PSBB di Jatim, maka kesimpulannya adalah beribadah di masjid merupakan bagian dari hak yang paling mendasar.
“Mengingat bahwa beribadah di masjid merupakan bagian dari hak dasar yang paling mendasar, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang hati-hati dan proporsional. Kebijakan yang tidak proporsional bisa batal demi hukum karena bisa dianggap melanggar konstitusi,” terang Ainul.
Ia mengatakan, terkait dengan kebijakan PSBB di Surabaya Raya (Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik), hanya Sidoarjo yang dinilai lebih akomodatif.
“Terkait dengan kebijakan PSBB, Peraturan Bupati Sidoarjo No 32 Tahun 2020 terlihat paling akomodatif dibandingkan dengan yang lainnya,” tuturnya.
MUI Jatim juga memberikan masukan dan saran kepada kepala daerah di Jawa Timur.
“Penyelenggaraan kegiatan ibadah sebagaimana biasa, sedapat memperhatikan protokol pencegahan penyebaran COVID-19 sesuai dengan ketentuan Fatwa MUI No 14 Tahun 2020 poin (5), kecuali apabila ada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan dilaksanakan mengacu pada fatwa No 14 Tahun 2020 poin 4,” terangnya.
Dalam keadaan tidak ada alternatif lain misalnya dengan memperhatikan bahwa masjid yang dimaksud jemaahnya dari berbagai tempat yang sulit dikendalikan.
Sementara penyebaran virus susah diprediksi sehingga perlu diterapkan kebijakan penghentian kegiatan ibadah di masjid untuk pencegahan penyebaran COVID-19, maka perlu pembicaraan dengan lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan klausul fatwa MUI No 14 Tahun 2020 poin 4.
“MUI Jawa Timur memberikan rekomendasi, jika dalam kondisi terpaksa hal ini harus dilakukan, masjid atau musala tetaplah dibuka untuk singgahan warga yang sedang ada di luar rumah karena masih bekerja. Yang ingin melaksanakan salat, dan disediakan tempat untuk mereka serta disediakan fasilitas tempat cuci dengan sabun yang memadai,” paparnya.
Ainul menambahkan, seruan azan juga masih diperbolehkan.
“Seruan azan sebagai tanda waktu masuk salat masih tetap dilaksanakan, dan dilaksanakan salat berjemaah oleh orang-orang tertentu saja,” katanya.
“Sementara pada masjid-masjid yang jemaahnya masih terkendali yaitu masyarakat setempat, seyogyanya masih dapat melaksanakan kegiatan keagamaan di masjid, dengan wajib menerapkan ketentuan protokol pencegahan penyebaran COVID-19,” imbuhnya.
MUI juga menyarankan agar pengetatan protokol pencegahan penyebaran COVID-19 oleh aparat harus dilakukan secara merata.
“Tidak hanya di rumah ibadah, tetapi juga di tempat yang masih ada kegiatan kerumunan massa yang diperbolehkan berdasarkan peraturan yang ada seperti di pasar dan tempat-tempat perbelanjaan lain-lainnya,” katanya.
Dalam upaya mensosialisasikan protokol pencegahan penyebaran COVID-19, MUI menyarankan agar melibatkan peran masjid dan musala sebagai tempat sosialisasi secara terus-menerus.
“Karena untuk memberikan kesadaran pada masyarakat dibutuhkan sosialisasi berulang-ulang yang dapat dilakukan melalui masjid atau musala, lewat pengumuman, khotbah dan lainnya,” terangnya.
Selain itu, sebagai masyarakat beriman, masyarakat berkeuhanan, upaya pencegahan penyebaran COVID-19 perlu dilakukan secara simultan antara upaya lahir dan upaya batin.
Upaya lahir katanya, hal yang mutlak dilakukan sesuai dengan kaidah sunatullah dalam agama yaitu dengan mematuhi ketentuan pencegahan penyebaran COVID-19.
“Upaya batin juga harus digalakkan agar masyarakat semakin mantap imannya, sehingga lahir sikap sabar, tabah, optimis dan tidak cemas. Lebih-lebih saat ini adalah Bulan Suci Ramadhan yang sangat diyakini sebagai bulan penuh rahmat. Optimisme adalah hal yang penting, sebaliknya kecemasan justru bisa merapuhkan kekebalan, sesuai dengan temuan para ahli di bidang ini,” lanjutnya.
MUI juga menyarankan agar pemerintah transparan dalam menetapkan suatu daerah sebagai zona atau kawasan merah.
“Jika suatu daerah ada kasus yang masih jelas klasternya karena dapat dilacak, tidak otomatis daerah tersebut dinyatakan tidak terkendali sehingga dilakukan penghentian kegiatan di rumah ibadah yang bisa membingungkan masyarakat,” tuturnya.
Di luar wilayah penerapan PSBB di Jawa Timur, berdasarkan Satuan Tugas Pencegahan COVID-19 MUI Jawa Timur, pada musala di fasilitas umum seperti di jalan tol masih ada sarana ibadah yang belum menyediakan fasilitas alat cuci dengan sabun yang memadai.
“Dan tidak menyediakan peringatan bagi pengguna sarana yang datang. Untuk itu perlu ada teguran kepada pengelolanya agar memperhatikan hal ini,” tegasnya.
Ainul menambahkan, pada kenyataannya masih banyak orang-orang yang karena suatu keadaan harus menjalankan tugas di luar rumah.
Namun oleh karena ada seruan penghentian kegiatan ibadah di masjid, banyak rumah ibadah Umat Islam di jalan-jalan utama tidak hanya menghentikan kegiatan tetapi juga menutup rapat pagarnya.
“Sehingga orang-orang yang bekerja di luar rumah kesulitan menemukan tempat untuk menjalankan salat. Hal ini tentu sangat ironis di negara yang berdasarkan Pancasila denga sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa,” katanya.
“Karena itu, pemerintah perlu memberikan solusi terhadap masalah ini sebagai konsekuensi pelaksanaan pasal 29 ayat 92 UUD 1945,” tambahnya.
Berdasarkan catatan dan evaluasi MUI Jatim, di Jawa Timur terdapat sekitar 43.000 masjid dan 165.000 musala.
“Ini adalah potensi untuk media membangun kesadaran bersama mencegah penyebaran COVID-19. Jangan justru dimatikan dengan kebijakan menutup masjid atau musala dan meredupkan syiarnya,” terangnya.
Seruan gerakan bekerja di rumah dan beraktifitas di rumah hendaknya tetap dilakukan secara realistis.
“Jangan sampai seruan ini hanya dianggap apologi, karena faktanya masih banyak rakyat yang harus mengais rezeki di luar rumah untuk menghidupi keluarganya,” jelas Ainul.***