Oleh: Nelly, M.Pd*
Minggu ini publik kembali dikejutkan dengan adanya kebijakan baru untuk jemaah haji. Kepastian mengenai pelaksanaan ibadah haji tahun ini akhirnya keluar. Kementerian Agama menyatakan meniadakan Ibadah Haji 2020 karena pandemi COVID-19 masih menghantui dunia khususnya Arab Saudi.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan pandemi ini berdampak pada semua aspek sosial keagamaan. Kementerian lalu membentuk pusat krisis Haji 2020. Pusat krisis ini diberi mandat untuk mitigasi penyelenggaraan haji 2020
Keputusan ini memang mengagetkan berbagai pihak, terkhusus para calon jemaah haji tahun ini, di mana mereka sudah bertahun-tahun menunggu keberangkatan. Sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk berangkat dan dengan berbagai usaha kerja keras untuk bisa melunasi setoran pelunasan dana haji.
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai keputusan pemerintah membatalkan pemberangkatan jamaah haji tahun ini sudah sesuai dengan tuntutan fiqih. Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Huzaemah Y Tanggo, menjelaskan keputusan pembatalan pemberangkatan haji yang disampaikan Menteri Agama pada Selasa (2/6) sudah sesuai dengan kaidah fiqih untuk kemaslahatan seluruh jamaah haji khususnya dari Indonesia di tengah pandemi COVID-19 yang terjadi secara global.
Untuk maslahat, (pemberangkatan haji) kalau mendatangkan mafsadat jangan dilaksanakan. Kaidahnya kan mencegah ke-mafsadatan itu diutamakan dari pada mencari maslahat,” tutur Huzaemah kepada Republika,co.id, Rabu (3/6).
Huzaemah menjelaskan kendati melaksanakan ibadah haji merupakan kewajiban seorang muslim yang telah mampu untuk memenuhi rukun Islam, namun karena adanya pandemi COVID-19 hal tersebut dapat tidak dilaksanakan Muslim untuk menghindari bahaya pandemi.
Namun pembatalan keberangkatan haji tahun ini yang terkesan mendadak dan buru-buru, mendapat sosotan dari berbagai pihak. Pasalnya jika pembatalan karena untuk menghindari COVID-19, namun mengapa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 akan tetap diberlangsungkan pada bulan Desember ini. Pengamat politik dari Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam berpendapat, pilkada memang cenderung dipaksakan digelar tahun ini, mengingat masih di tengah pandemik COVID-19.
Menurut Syaiful pilkada Desember telah termaktub dalam Perppu 2/2020. Tentu itu harus dicari dasar pertimbangannya, mengapa harus Desember? Menurutnya, pilkada yang akan digelar di masa COVID-19 berpotensi akan menimbulkan mudarat dibanding manfaat. (rmolsumsel.id/2020/06/03)
Adanya kebijakkan dari pemerintah ini memang mengherankan, satu sisi pemerintah tetap ngotot ingin melaksanakan pilkada saat virus corona masih mewabah di Indonesia. Sisi lain pemberangkatan haji dibatalkan, terlihat ada ketidakkonsistenan kebijakan.
Yang sangat disayangkan jika benar adanya keputusan ini ditengarai oleh sejumlah tokoh dan pengamat ada unsur politik di dalamnya. Maka ini juga mesti menjadi perhatian bersama dan patut untuk dikritisi.
Permasalahan negeri ini memang rumit, ditambah lagi dengan adanya wabah pandemi ini semakin memperburuk kondisi perpolitikan, sosial dan ekonomi. Terlihat adanya kebijakan yang selama ini dibuat oleh para tuan puan pemilik kebijakkan terkesan plin-plan, berubah-ubah menunjukkan ketidaksiapan negara dalam menghadapi wabah pandemi.
Alih-alih mampu menyelesaikan dan memberi solusi untuk mengakhiri virus corona, yang ada malah tak dapat diprediksi kapan wabah ini akan menghilang, di mana jumlah yang positif maupun yang meninggal semakin meningkat.
Andai dari awal ada keseriusan dan langsung mengambil opsi karantina wilayah atau lockdown, mungkin virus ini tak akan selama dan seganas ini menyebar ke senatero negeri. Hingga dampaknya begitu sangat dirasakan oleh rakyat kecil.
Inilah akibat dari penerapan sistem kapitalis sekuler yang diadopsi oleh negeri ini, kebijakan yang diterapkan bukan mampu menyelesaikan masalah yang ada malah membuat masalah yang baru.
Lihat saja kebijakan new normal yang akan menjadi opsi pilihan kedepan ini, di tengah wabah yang masih belum berkurang jumlah korban COVID-19. Inikan salah satu kebijakan yang tidak dapat diterima, bahkan penerapan kebijakan ini hanya akan menjadikan wabah corona gelombang kedua terjadi. Siapa yang jadi korban kebijakan ini? tentu rakyatlah.
Masalah pembatalan pemberangkatan haji dan pilkada, memang harus dibatalkan saja di tengah corona ini. Maka harusnya fokus pemerintah adalah bagaimana menyelesaikan virus corona ini agar segera berakhir. Harus ada usaha maksimal dan keseriusan dari para punggawa negeri. Namun berharap pada sistem kapitalis sekuler menyelesaikanwabah ini seperti punuk merindukan bulan, jauh panggang dari api.
Di sinilah perlu adanya muhasabah, bagi negeri yang mayoritas muslim ini. Ada yang keliru dengan tatakelola negeri ini. Harusnya negeri sebesar ini dan sekaya raya dengan limpahan SDA dan tanah subur menjadikan bangsa ini maju, sejahtera, makmur, merdeka da berdaulat. Namun kenyataannya tidaklah demikian, masalah demi masalah bangsa terus menghantui negeri. Tanpa terlihat masa depan cerah untuk bangsa ini.
Maka tidak ada jalan lain untuk mengatasi wabah pandemi ini hingga tuntas dan mengakhiri segala problem bangsa. Hanya dengan kembali pada aturan Allah SWT lah solusi hakiki. Sebagaimana yang sudah dicontohkan Rasul Muhammad Saw. dengan menerapkan Islam kaaffah dalam bernegara. Terbukti selama 1300 tahun lebih peradaban Islam mampu menaungi 2/3 belahan dunia dengan kesejahteraan yang dirasakan oleh muslim dan non muslim.
Sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang shalih, amanah, bertanggungjawab, cerdas dan memiliki kafabilitas. Inilah salah satu kunci kepemimpinan suatu bangsa, agar negeri kuat dan maju.
* Penulis adalah pemerhati kebijakan publik, pegiat opini medsos dan saat ini menetap di Palangkaraya, Kalimantan tengah