Jumat, 29 Maret 2024

LIPI sebut kiamat sudah dekat, benarkah?

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Gedung LIPI.

Jakarta (Riaunews.com) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat heboh dengan menyebut kiamat sudah dekat. Namun, kiamat yang dimaksud adalah penurunan drastis 80 persen populasi serangga di seluruh dunia.

Sebagaimana diketahui, saat ini baru 20 persen serangga dari 5,5 juta serangga di dunia yang teridentifikasi. Sisanya 80 persen dari populasi tersebut dan jumlahnya terus berkurang.

Pada 2017, laporan Caspar Hallman dari Universitas Radboud, Belanda, menemukan bahwa populasi serangga terbang di cagar alam Jerman menurun lebih dari 75 persen selama 27 tahun terakhir. Bahkan, Bayo dan Wyckhuys melaporkan penurunan serangga tetap terjadi meskipun di kawasan cagar alam yang masih belum terjamah.

Baca: LIPI: Minum air laut bisa sebabkan kematian

Lantas, bagaimana jika laju penurunan serangga terus terjadi? Tentunya keselamatan bumi akan terancam. Serangga dan tumbuhan adalah penyusun dasar kehidupan. Peran serangga sangat vital dalam ekosistem.

Melansir Viva, menurut Djunijanti Peggie, peneliti bidang Entomologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, mereka adalah penyerbuk, pengontrol hama, pengelola limbah dan pengurai jasad manusia maupun hewan.

Selain itu, serangga adalah makanan bagi hewan lain. “Jadi bayangkan jika serangga punah akan banyak jasad yang menumpuk dan tidak terurai”, ungkap Djunijanti, seperti dikutip dari situs resmi LIPI, Ahad (7/6/2020)

Ia juga menjelaskan isu penurunan serangga sudah nyata terlihat. “Penyebab utama penurunan populasi serangga adalah alih fungsi lahan, perubahan iklim, penggunaan pestisida dan pupuk sintetis, serta adanya faktor biologis termasuk patogen dan spesies invasif,” paparnya.

Sebagai contoh, kupu-kupu Graphium codrus yang digunakan sebagai foto sampul majalah National Grographic Indonesia pada Mei 2020 bukanlah kupu-kupu endemik Indonesia, tidak langka, dan tidak terancam punah.

Baca: Soal suntik disinfektan ke tubuh, Trump sebut itu sarkasme

“Namun dengan status bukan endemik, bukan langka, dan tidak terancam punah ini pun ternyata jumlah spesimen Graphium codrus di Museum Zoologicum Bogoriense hanya ada 21 spesimen dari empat sub-spesies,” kata Djunijanti.

Bukan itu saja. Ia mengungkapkan masih ada empat subs-pesies di pulau-pulau kecil yang belum ada spesimennya di Museum Zoologicum Bogoriense. Kondisi ini menunjukkan bahwa menemukan kupu-kupu tak langka pun sudah cukup sulit.

Apalagi, lanjut Djunijanti, mendata dan memperoleh spesies yang tergolong endemik dan langka seperti Ornithoptera Croesus yang merupakan spesies endemik di Maluku Utara dan baru dimasukkan dalam daftar spesies dilindungi di Indonesia pada 2018.

Ia pun mengingatkan sudah saatnya setiap individu berkontribusi untuk menekan laju penurunan serangga yang terjun bebas. “Status kiamat serangga saya setuju dan sangat menghawatirkan,” jelas Djunijanti.

Pendataan serangga

Pada sisi lain, dirinya menekankan penurunan biomassa hingga 76 persen perlu dicermati secara detail. Artinya, belum terlihat jenis serangga yang terancam sehingga belum dapat melakukan prioritas. Oleh karena itu perlu dilakukan pendataan terlebih dahulu. Saat ini LIPI terus berupaya melakukan upaya pendataan serangga.

Baca: Point Nemo, lokasi di Bumi yang paling sulit dikunjungi manusia jadi tempat pembuangan sampah antariksa

“Kami juga mendapatkan dana dari Global Biodiversity Information Facility untuk melakukan pendataan dan digitalisasi spesimen kupu-kupu,” tutur dia. Tak hanya itu, LIPI juga membuka kesempatan kepada publik untuk mengkontribusikan spesies yang telah ditemukan.

“Masyarakat dapat mengirimkan koleksi dalam bentuk foto spesies dengan melengkapi data tempat dan waktu ditemukan. Koleksi tersebut dapat menjadi data observasi, salah satunya dalam InaBIF,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi, menambahkan jika pendataan serangga adalah upaya LIPI untuk melengkapi data kehati.

Data ini akan menjadi salah satu dasar untuk menyatakan status kepunahan. Menurutnya, negara maju sudah memiliki perbandingan data serangga dari tahun ke tahun, sedangkan di Indonesia baru sebatas memiliki koleksi spesimen. “Inilah yang dianggap sebagai kondisi kritis eksistensi serangga,” terang Cahyo.

Baca: Terlalu sering memanaskan hidangan lebaran bersantan berbahaya, ini sebabnya

Ia menyebutkan status hewan yang tidak langka dan belum masuk daftar merah belum tentu aman, karena masih sedikit orang yang memperhatikan serangga. “Diperlukan perubahan perilaku masyarakat untuk menghargai keberadaan makhluk kecil tersebut,” tegasnya, mengingatkan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *