Rabu, 27 November 2024

Kapitra Ampera curigai dugaan makar dibalik pembentukan KAMI

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Politikus PDIP Kapitra Ampera.

Jakarta (Riaunews.com) – Politikus PDI Perjuangan Kapitra Ampera terus menyoroti gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dimotori presidiumnya Prof Din Syamsuddin, Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo dan Prof Rochmat Wahab.

Terbaru, dia menyodorkan analisis soal dugaan makar di balik gerakan moral KAMI.

Analisis ini disampaikan Kapitra dalam sebuah artikel berjudul “Incognito Politik dalam Gerakan Moral” yang diterima JPNN.com pada Sabtu (29/8/2020).

Dia juga menyebut bahwa KAMI sedang membentuk poros perlawanan terhadap rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Apakah narasi yang dibangun Kapitra sebagai upaya penggembosan terhadap gerakan moral KAMI yang kian masif di berbagai daerah hingga luar negeri?

Pertanyaan ini ditepis oleh advokat yang pernah menjadi pengacara Habib Rizieq Shihab tersebut. Dia mengklaim melihat gerakan KAMI secara objektif dari perspektif politik.

“Insyaallah saya melihatnya dengan jernih saja dalam perspektif politik hukum karena poin kedelapan deklarasi KAMI itu adalah mekanisme pemakzulan. Dan jika Presiden tidak melakukan crime against of state maka pemakzulan itu dapat dikategorikan perbuatan makar,” jawab Kapitra saat dikonfirmasi.

Berikut artikel lengkap yang ditulis Kapitra Ampera:

INCOGNITO POLITIK DALAM GERAKAN MORAL

Dr. M. Kapitra Ampera, SH., MH.

Demokrasi sebagai bentuk sistem pemerintahan yang dianggap paling ideal dalam keberagaman suku, agama, RAS, dan kelompok di Indonesia harus dibangun berdasarkan 3 hal.

Pertama, Kebebasan. Dalam artian demokrasi memberikan kebebasan terhadap setiap orang untuk mengemukakan pendapat, menyampaikan pikiran, termasuk memberikan kritik kepada pemerintahan. Hal kedua yang dibutuhkan adalah penghargaan atas keberagaman. Dan hal yang terpenting dalam demokrasi adalah poin ketiga, yaitu aturan.

Setiap masyarakat memiliki kebebasan namun harus menghargai keberagaman dan toleransi atas perbedaan lahiriah, hak maupun pandangan orang lain, serta harus diatur dan diikat dengan aturan hukum.

Kebebasan tanpa aturan akan menciptakan kekacauan. Right and Duties are correlative, setiap orang memiliki hak kebebasan namun juga memiliki kewajiban untuk taat pada aturan agar tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain.

Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Artinya, negara menjamin kedaulatan rakyat namun harus dijalankan dan dibatasi dengan undang-undang.

Salah satu hak warga negara yang dijamin kebebasannya menurut UUD 1945 dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah hak untuk berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat.

Hak ini tidak dibatasi sepanjang kegiatan dan tujuannya tidak bertentangan dengan hukum/aturan perundang-undangan yang berlaku.

Terbentuknya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dideklarasikan pada tanggal 18 Agustus 2020, cukup mencuri perhatian publik.

Bukan suatu hal yang spesial, bila sekelompok orang berkumpul membentuk suatu gerakan dengan tujuan tertentu.

Namun, menilik pada aktor penggagas serta tuntutan yang disampaikan, kelompok ini sarat dengan tujuan politik yang dibungkus dengan gerakan moral.

Hal demikian tergambar dari pihak-pihak yang terlibat dalam gerakan KAMI adalah orang-orang, baik politikus ataupun non politikus yang aktif menyerang kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Gerakan ini dapat diduga sebagai upaya untuk membentuk poros perlawanan yang besar dengan menghimpun masyarakat secara masif, guna menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Pandangan ini didasarkan pada Maklumat KAMI yang dideklarasikan di Tugu Proklamasi, dinilai tidak sesuai dengan landasan yang disebutkannya sebagai gerakan moral non parlemen.

Oleh karena, substansi maklumat lebih kepada tuntutan-tuntutan politik yang dapat menggiring pikiran masyarakat/pengikutnya untuk menilai buruk kinerja pemerintah, dan membentuk opini seakan-akan pemerintah tidak acuh terhadap permasalahan negara ini.

Suasana politik yang amat kental juga diakui oleh pihak-pihak internal KAMI, di antaranya Duta Besar Palestina dan Meutia Hatta yang telah dijebak hadir dalam deklarasi.

Selanjutnya Novel Bamukmin yang juga merupakan internal KAMI tidak menampik adanya tokoh KAMI yang berpotensi mengejar jabatan dan dan kekuasaan politik untuk kepentingan pribadinya.

Bahkan, Presidium KAMI, Din Syamsuddin mengakui gerakan yang diinisasinya tak bisa dilepaskan dengan politik. Sehingga sangat jelas munculnya gerakan ini adalah sebagai wadah untuk mendapatkan atau dapat diduga upaya untuk merebut kekuasaan.

Hal ini juga tampak pada maklumat KAMI butir ke 8 yang berbunyi: “menuntut Presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannga serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD, dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.”

Tuntutan kepada Presiden dan mendesak lembaga MPR, DPR, DPD, serta MK, merupakan proses dari impeachment yang diatur pada pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945.

Jika KAMI murni merupakan gerakan moral, mengapa terdapat rencana pemakzulan Presiden pada maklumatnya?

Artinya, tak terbantahkan ada tujuan dan agenda kudeta terhadap pemerintahan yang sah dalam tubuh Gerakan Politik KAMI. Jika Kudeta dikenal dalam istilah Politik, maka Makar merupakan istilah yuridisnya.

Makar pada pasal 107 KUHP disebutkan sebagai perbuatan menggulingkan pemerintah yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Eddy OS Hiarief menyebutkan bahwa pada delik Makar, Niat (voornemen) dan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) yang sudah mendekati delik yang dituju (voluntas reputabitur pro facto) adalah cara inkonstitusional yang menghendaki perlawanan terhadap pemerintahan yang sah sebagai pemenuhan unsur delik Makar.

Sehingga, dapat diduga tujuan dari gerakan ini tidak lain dari pada upaya makar dengan menggulingkan pemerintahan yang sah (omwenteling), dengan cara mengumpulkan massa dan membentuk opini menyesatkan yang mengganggu keamanan dan stabilitas politik nasional.

Sangat disayangkan gerakan yang berlandaskan moral, malah tidak bermoral memanfaatkan bencana Pandemi COVID-19 sebagai tanjakan politik, alih-alih bersama-sama dengan pemerintah menanggulangi penyebaran, dan memberikan ketentraman kepada masyarakat.

Kelompok ini malah membangun pandangan negatif terhadap pemerintah bahkan membentuk kumpulan-kumpulan di masa pandemi yang berpotensi menimbulkan penyebaran wabah.

Pada intinya, kebebasan berpendapat secara politik tidaklah tanpa batas. Setiap kebebasan harus dibatasi hukum dan memandang toleransi dan menghargai orang lain.

Jangan menggunakan makna kebebasan berpendapat untuk menghujat dan melayangkan tudingan kepada pemerintah yang tidak objektif dan provokatif.

Menggunakan alasan kebebasan berpendapat untuk memprovokasi rakyat, sehingga muncullah ujaran kebencian (hate speech), prasangka negatif, unjuk rasa (people power), yang tujuan akhirnya mengganti pimpinan tertinggi negara/menjatuhkan pemerintahan.

Dalam tujuan menjaga keamanan dan kesejahteraan bangsa, tentunya hal-hal tersebut haruslah dihindari dan dihentikan bersama-sama.

Kemerdekaan dalam berdemokrasi dijamin oleh negara, namun jika malah berpotensi menimbulkan perpecahan dan tindakan melanggar hukum, maka negara juga wajib mengawasi dan bertindak tegas.***


Eksplorasi konten lain dari Riaunews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

 

Tinggalkan Balasan