Oleh: Nelly, M.Pd
Sepanjang bulan Juli lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan kasus buronan korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra. Seperti sinetron publik disuguhkan, dengan episode skandal terkait perlarian Djoko Tjandra. Jika berita-berita soal Djoko Tjandra tidak gencar dipublikasikan dalam sebulan terakhir, mungkin masyarakat Indonesia sudah banyak lupa dengan kasus yang menjeratnya.
Dilansir dari laman berita republika.co, akhirnya Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia dan akhirnya dibawa pulang ke Indonesia. Penangkapan Djoko Tjandra menuai apresiasi namun ada juga tidak yang menganggap hal biasa. (30/7/2020).
Kasus hukum ini cukup menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, seperti diketahui Djoko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan ini buronan selama 11 tahun. Sepak terjangnya belakangan ini begitu menampar institusi hukum dan peradilan negeri.
Baca: Pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, diperiksa Bareskrim Polri pagi ini
Perjalanan sang buronan awalnya terlibat dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Kasus ini mencuat pada tahun 1999 silam, dan Djoko Djadra mulai diselidiki oleh Polri serta Kejaksaan Agung. Djoko Tjandra juga pernah merasakan sel tahanan pada September 1999.
Pada tahun 2000, Djoko Tjandra didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp904 miliar.
Namun, saat itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan tidak menerima dakwaan jaksa, dengan alasan soal pengalihan hak tagih bukan perbuatan pidana melainkan perdata. Djoko Tjandra lolos dari jerat hukum. Kemudian, Jaksa Pennutut Umum mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, yang kemudian hal itu diterima dan pemeriksaan perkara Djoko Tjandra dilanjutkan.
Tetapi kembali Djoko Tjandra lolos dari tuntutan hukum, dengan alasan yang sama. Selanjutnya Jaksa Agung, yang kala itu dijabat oleh Marzuki Darusman kemudian mengajukan kasasi, namun majelis hakim menolak kasasi Kejaksaan Agung.
Upaya hukum terhadap Djoko Tjandra berlanjut dengan diajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan kasasi MA pada tahun 2008. Akhirnya, majelis kasasi MA menjatuhkan hukuman vonis 2 tahun penjara untuk Djoko Tjandra. Namun apa yang terjadi, diduga karena putusan MA sudah bocor terlebih dulu, Djoko Tjandra punya kesempatan kabur ke luar negeri sebelum dieksekusi.
Dari pemberitaan beberapa media, Djoko Tjandra kabur ke Papua Nugini dan menjadi warga negara disana sejak Juni 2012. Sejak itu, nyaris tidak terdengar lagi upaya-upaya aparat hukum dalam memburu Djoko Tjandra. Namun, nama Djoko Tjandra mulai ramai menghiasi pemberitaan di media massa ketika Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, saat menggelar rapat kerja bersama Komisi III DPR pada akhir Juni lalu, menyebut jika buronan itu sempat berada di Indonesia.
Baca: Faisal Basri: KSP dibentuk Jokowi memang untuk Luhut Pandjaitan
Maka sejak itulah publik kembali dihebohkan, hingga skandal-skandal terkait perlarian Djoko Tjandra terkuak kepermukaan. Mulai dari keberhasilan Djoko Tjandra membuat KTP elektronik untuk kepentingan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke PN Jaksel, adanya Jenderal-Jenderal di Polri yang membantu Djoko Tjandra keluar masuk Indonesia, dihapusnya Red Notice Interpol atas nama yang bersangkutan, hingga adanya Jaksa yang sering bertemu dengan Djoko Tjandra.
Banyak kalangan berpandangan bahwa penangkapan Djoko Tjandra bukanlah sebuah prestasi bagi penegak hukum. Justru aparat penegak hukum harus bercermin dan mengevaluasi, mengapa harus sampai bertahun-tahun menyelesaikan kasus buron tersebut. Mengapa, sampai bertahun-tahun bisa dipermainkan oleh seorang Djoko Tjandra.
Dan yang paling penting adalah, aparat hukum harus mampu mengungkap dan mengusut tuntas skandal-skandal terkait buronan Djoko Tjandra di institusinya masing-masing. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pascaditangkapnya buronan itu. Polri punya utang untuk mengungkap skandal surat jalan yang diterbitkan salah satu jenderalnya untuk Djoko Tjandra.
Polri jangan berhenti dengan menetapkan satu tersangka dalam skandal itu, dan percaya begitu saja jika pelaku membantu Djoko Tjandra hanya karena merasa ingin menolong. Usut tuntas apa yang diberikan oleh Djoko Tjandra untuk oknum-oknum yang membantu menerbitkan surat jalan.
Begitu juga dengan pencoretan nama Djoko Tjandra dari red notice interpol, yang hingga kini belum terlalu terdengar kelanjutannya. Ini juga harus diusut tuntas, karena bahaya sekali bisa mencoret nama buronan dari daftar itu.
Sementara itu peneliti Indonesia Corruption Watch ( ICW) Kurnia Ramadhana juga menanggapi terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra, Kurnia mengatakan peristiwa ini tamparan bagi hukum di Indonesia. Maka dari itu hendaknya harus dijadikan momentum bagi Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja lembaga dan kementeriannya yang berkaitan dengan penanganan kasus tersebut.
Baca: Janji Kapolri bakal sikat habis oknum polisi yang bantu Djoko Tjandra
Menurut Kurnia, lembaga atau kementerian yang harus dievaluasi kinerjanya yakni Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM atau Ditjen Imigrasi, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Ia menilai, apabila evaluasi tidak dilakukan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi lagi kasus seperti Djoko Tjandra pada masa mendatang. Oleh karena itu, Kurnia berharap Presiden Joko Widodo dapat melakukan evaluasi terhadap lembaga dan kementeriannya. (kompas.com, 31/7/2020).
Dari berbagai catatan kehebohan akibat kasus Djoko Tjandra, buron 11 tahun yang bisa leluasa membuat e-ktp semakin menegaskan betapa bobroknya birokrasi dan mental pejabat negeri ini. Sangat terlihat kuasa korporasi telah mengendalikan pejabat di semua lini dan lembaga peradilan mandul dalam memberi sanksi.
Apapun yang terjadi dari kasus Joko Tjandra jika ditelaah dan diamati secara mendalam maka kasus ini memperlihatkan bahwa pemberantasan korupsi sudah mati di era kepemimpinan rezim saat ini.
Fakta telah terpampang nyata mulai dari pelemahan KPK melalui revisi UU KPK yang melumpuhkan sejumlah kewenangan KPK seperti terkait penyidikan, penuntutan, serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan.
Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah ini juga nyata tergambar saat hukum hanya mampu menyentuh lapisan bawah, namun tak bergigi saat yang terjerat hukum adalah mereka yang berkuasa para oligarki, koporasi pada politik dan kekuasaan. Hingga ranah penegakkan hukum terasa tumpul pada para kapitalis.
Artinya dugaan sejumlah pihak akan kedekatan Joko Tjandra dengan sumbu kekuasaan juga kuat jika begitu mudahnya seorang buronan mendapat pelayanan dari kekuasaan.
Baca: Jaksa KPK ungkap Harun Masiku tunjukkan foto Megawati dan mantan Ketua MA kepada Arief Budiman
Inilah demokrasi, yang berkuasa bukanlah hukum, apalagi kedaulatan rakyat, tapi kekuatan politik dan materi.
Kaum oligarki begitu leluasa memainkan peran, sementara rakyat kecil jika mengalami kasus hukum maka serta merta akan cepat dalam proses dan mendapat hukuman yang berat walaupun belum diputus dalam pengadilan.
Adanya kasus Djoko Tjandra ini hanya satu contoh masalah dalam penanganan hukum.
Kasus ini nyata memperlihatkan betapa rusaknya, karut marut dan bobroknya sistem peraturan, peradilan, hukum, serta pejabat yang tak amanah di negeri ini. Semua kerusakan ini kembali berpulang pada sistem tata kelola negara dan pemimpin bangsa.
Jika kondisi negara seperti ini terus dipertahankan niscaya bangsa akan mengalami kehancuran. Maka perlu adanya paradigma perubahan mendasar agar negeri ini keluar dari setumpuk persoalan bangsa termasuk hukum, peradilan dan krisis kepemimpinan.
Sepanjang negeri masih mengadopsi dan menerapkan sistem kapitalis sekuler, tidak akan mungkin bangsa akan berubah ke arah yang lebih baik.
Untuk keluar dari persoalan ini maka harus beralih pada sistem aturan Ilahi, yaitu sistem Islam.
Sistem peradilan, sistem hukum dan seperangkat aturan yang berkeadilan hanya ada dalam sistem hukum Islam. Sebab sistem Islam berasal dari Allah SWT pencipta manusia, Mahabenar, pasti hukum aturan-Nya adalah yang terbaik.
Sistem Islam sudah terbukti dan teruji pernah ada diterapkan oleh Rasulullah dan para khalifah setelah beliau, selama 13 abad lamanya menguasai 2/3 belahan dunia.
Selama itu kehidupan sejahtera, adil dan makmur di pimpin oleh pemimpin takwa, shalih, cerdas, super hero. Rakyat yang hidup dalam naungannya terdiri dari muslim, non muslim, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beragam adat, kebudayaan, namun hidup damai.
Baca: Menurut Refly Harun kasus Harun Masiku lebih bahaya dibanding Djoko Tjandra
Hukum di tegakkan, peradilan sangat adil di rasakan semua, tidak pernah didapat kekisruhan, pejabat amanah dan bertanggungjawab, sebab rasa takut hanya pada Allah akhirat adalah tujuan. Semua ini lahir dari sistem aturan yang sempurna yaitu sistem Islam. Oleh sebab itu, sudah saatnya negeri ini berubah mengambil sistem Islam sebagai sistem aturan negara, agar kehidupan yang berkah dan mulia akan dirasakan.
Wallahu ‘alam bis showab.***
Penulis merupakan pemerhati dunia perpolitikan, Aktivis Peduli Negeri