Jakarta (Riaunews.com) – Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono menceritakan bahwa lembaganya pernah ditegur Dinas Pariwisata DKI Jakarta saat merenovasi gedung utama pada 1993.
Pernyataan Hari tersebut merespons tudingan sejumlah pihak yang menyatakan gedung utama korps Adhyaksa itu bukan objek cagar budaya. Menurut Hari, kala itu kompleks Kejagung telah masuk sebagai salah satu kawasan pemugaran yang berproses menjadi gedung cagar budaya.
“Nah ini perlu kami sampaikan bahwa ketika kami bermaksud membersihkan, menambah aksesoris biar lebih cantik, kami mendapat teguran dari Kepala Dinas Pariwisata,” ujar Hari di Badiklat Kejagung, Selasa (25/8/2020).
Dia menceritakan, kala itu, Kejagung padahal berniat untuk menambah aksesoris gedung yang tidak mengubah bentuk dan struktur bangunan. Namun, oleh Dinas Pariwisata Kejagung diminta untuk membuat berita acara perbaikan itu.
Hari mengaku, Kejagung selama ini menaati aturan terkait pemeliharaan dan konservasi gedung Kejagung sebagai objek yang akan dijadikan cagar budaya. Kendati kala itu kawasan tersebut baru hanya tercatat sebagai kawasan pemugaran.
Diketahui, tata cara pemeliharaan atau perlindungan kawasan atau gedung diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam pasal 53 UU tersebut, antara lain dijelaskan, kegiatan pelestarian cagar budaya antara lain, harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.
“Kalau tidak salah sebagaimana saya sampaikan itu masuk kawasan pemugaran, sehingga masih dalam proses ditunjuk sebagai cagar budaya. Perlakuannya seperti apa? Hampir sama. Semua harus diawasi oleh balai konservasi cagar budaya,” ucap Hari.
“Dan buktinya apa? Ketika kami mau merenovasi dalam arti tidak mengubah bentuk bangunan itu pun sudah ditegur,” tambah dia lagi.
Hari menuturkan, pihaknya hingga kini belum memastikan proses perbaikan gedung utama Kejagung yang pada Sabtu (22/8) itu habis dilalap si jago merah selama kurang lebih 12 jam. Menurut dia, keputusan terkait hal itu menjadi kewenangan Tim Ahli dari balai konservasi cagar budaya.
Lagi pula, ujar dia, kejadian serupa tak hanya terjadi di Indonesia. Ada banyak bangunan bersejarah di luar negeri mengalami nasib yang sama seperti Kejagung. Oleh sebab itu, rekonstruksi ulang bentuk bangunan, dengan tidak mengubah dari bentuk semula, ia serahkan ke tim ahli.
“Kita juga mendengar, berita yang ada di luar negeri bangunan tahun 18 sekian terbakar kemudian ada istilah direkonstruksi dengan membangun baru tapi modelnya masih seperti lama. Itu semua kami serahkan pada mekanisme terhadap perlakuan cagar budaya,” katanya.
Klaim cagar budaya Kejagung oleh Hari sebelumnya sempat menuai polemik. Pemprov DKI menyebut proses penetapan gedung itu objek cagar budaya disebut masih dalam proses. Sementara, Ditjen Kebudayaan mengaku belum menerima berkas pendaftaran gedung tersebut sebagai gedung cagar budaya.
Padahal lazimnya, penetapan sebuah objek menjadi cagar budaya harus melalui sejumlah mekanisme dan memenuhi prasyarat. Antara lain, berusia tak kurang dari 50 tahun dan berkaitan dengan ilmu pengetahuan atau peristiwa bersejarah.
Setelah memenuhi mekanisme dan prasyarat itu, sebuah objek akan ditetapkan sebagai cagar budaya, entah itu masuk di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.***
Sumber: CNN Indonesia
Editor: Ilva