Senin, 25 November 2024

Firli Bahuri Genggam Bola Panas TWK KPK

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Presiden Joko Widodo menyalami Firli Bahuri usai dilantik menjadi Ketua KPK pada 20 Desember 2019. (Foto: Detik)

Jakarta (Riaunews.com) – Polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki babak baru. Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas mengatakan TWK tak bisa serta merta menjadi dasar memberhentikan bagi 75 pegawai KPK yang tak lulus tes tersebut.

Jokowi menyatakan bahwa hasil tes harus menjadi langkah evaluasi, baik untuk para individu maupun KPK secara kelembagaan. Di sisi lain, peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai sedikit pun.

“Saya sependapat dengan pertimbangan MK dalam putusan pengujian UU 19/2019 tentang perubahan UU kedua KPK yang menyatakan bahwa proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN,” kata Jokowi beberapa waktu lalu.

Namun dua hari setelah Jokowi buka suara, Ketua KPK Firli Bahuri belum juga mengambil sikap untuk mencabut SK penonaktifan 75 pegawai lembaga antirasuah. Pimpinan KPK masih mau berkoordinasi dengan Kemenpan-RB dan BKN terkait nasib puluhan pegawai tersebut.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai sikap Jokowi mengenai polemik TWK ini sudah tepat. Dengan demikian, menurutnya, Ketua KPK Firli Bahuri harus menganulir keputusannya terkait penonaktifan 75 pegawai yang tak lolos TWK.

“Konsekuensinya Firli harus membatalkan keputusan penonaktifan 75 orang pegawai KPK itu,” kata Fickar saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (19/5/2021).

Fickar mengatakan terjadi salah tafsir alih status pegawai KPK menjadi ASN yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Menurutnya, begitu UU KPK berlaku, seluruh pegawai KPK otomatis menjadi ASN.

Menurut Fickar, tes wawasan kebangsaan itu juga seharusnya bukan untuk menentukan orang masuk atau tidak menjadi ASN. Mengingat, tes masuk KPK sejak awal harus dianggap sebagai bagian dari tes masuk ASN.

“Karena itu jika ada kelemahan dalam wawasan kebangsaan dengan ukuran hasil tes, maka seharusnya dilakukan penambahan wawasan, bukan memutus hak pegawai KPK sebagai ASN,” ujarnya.

Lebih lanjut, Fickar mengatakan dengan instruksi Jokowi tersebut seharusnya iklim kerja di KPK kembali membaik. Selama Firli menjabat, kata dia, internal KPK kerap mengalami gejolak sehingga kinerja lembaga antikorupsi itu kendor.

Fickar menyebut empat komisioner lainnya juga perlu mendorong agar Firli mengikuti instruksi Jokowi.

“Empat komisioner lain harus mendorongnya, itu Jokowi sebagai kepala negara, dan KPK sekarang di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, karena itu Menkopolhukam Mahfud MD pun harus menegur Ketua KPK,” ujarnya.

Fickar pun meminta Dewan Pengawas (Dewas) KPK tetap memproses laporan 75 pegawai terkait dugaan pelanggaran kode etik. Pelaporan terkait dengan pelaksanaan TWK dalam rangka alih status menjadi ASN.

“Laporan itu sebagai proses dari tindakan keliru yang dilakukan secara sengaja, Dewas harus memprosesnya, ini indikator dari kelemahan seorang pemimpin yang bersifat otoriter,” katanya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan bahwa saat ini Firli harus mengikuti arahan presiden mengenai nasib 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK.

“Firli tidak perlu ragu mematuhi perintah presiden, karena kalau melanggar dampaknya tentu semua tindakan dia akan dipertanyakan,” ujar Feri saat dihubungi.

Menurut Feri, Firli tak dapat memberhentikan pegawai KPK dengan alasan hasil TWK tak memenuhi syarat. Oleh karena itu, menurutnya, perlu perbaikan yang serius dan menyeluruh di KPK dengan munculnya masalah ini.

“Perlu perbaikan yang serius, menyeluruh di KPK dan kalau sudah dinyatakan presiden tidak ada lagi tafsir lain-lain soal itu. Terutama harus mematuhi ketentuan UU yang ada agar langkah-langkah itu benar dalam tindakannya,” katanya.

Akademisi Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril berpendapat masalah ini tak akan berdampak pada psikologis para pegawai KPK. Namun, ia mengingatkan seluruh elemen KPK harus kembali kepada aturan main lembaga antirasuah.

“Karena di KPK itu kan ada aturan-aturan organisasi, SOP, pekerjaan itu dilakukan berdasarkan prinsip profesionalitas,” kata Oce.

Oce mengatakan para pegawai maupun pimpinan tak perlu lagi mempermasalahkan hal ini dan bekerja sesuai ketentuan organisasi kelembagaan. Termasuk jika bicara soal pimpinan KPK, maka harus mengenai lima orang pimpinan yang kolektif kolegial.

Menurut Oce, pada prinsipnya, setiap keputusan KPK harus diambil oleh kelima pimpinan, bukan sekadar Firli. Sebab, jabatan ketua KPK hanya mewakili kelembagaan, bukan sebagai pengambil keputusan.

“Kalau akhir-akhir ini kita lihat lebih banyak one man show dalam pengambilan keputusan, maka kolektif kolegial harus diperkuat,” ujarnya.

Oleh sebab itu, kata Oce, saat ini peran Dewas KPK juga perlu dimaksimalkan. Menurutnya, Dewas KPK harus bisa mengingatkan para pimpinan mengenai prinsip kolektif kolegial itu.

“Kalau hal-hal yang sifatnya manajemen kelembagaan Dewas enggak bisa berperan, buat apa punya Dewas. Fungsi mereka kan termasuk awasi kebijakan pimpinan,” katanya.

CNNIndonesia.com sudah berupaya mengonfirmasi Firli mengenai arahan Presiden Jokowi. Namun Firli tak kunjung merespons pertanyaan yang diajukan kepadanya.***

 

Sumber: CNN Indonesia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *