Opini  

Simalakama Kritik di Era Fitnah

Alfiah S.Si
Alfiah S.Si

Oleh : Alfiah, S.Si

Saat peluncuran buku tahunan Ombudsman RI beberapa hari lalu secara terbuka Presiden Joko Widodo meminta masyarakat lebih giat menyampaikan kritik dan masukan pemerintah. Salah satu tujuannya, Jokowi ingin ada peningkatan pelayanan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Sontak saja pernyataan Presiden Joko Widodo menuai pro dan kontra dari masyarakat tanpa terkecuali tokoh-tokoh nasional. Menurut Aktivis Petisi ’28, Haris Rusly Moti, pernyataan Jokowi bisa ditafsirkan sebagai sebuah jebakan baru bagi para pengkritik.

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), Damar Juniarto mengatakan moratorium atau penangguhan penggunaan UU ITE merupakan langkah konkret Jokowi untuk membuktikan pernyataannya. Mengutip laporan koalisi masyarakat sipil misalnya, dia menyebut tingkat hukuman lewat UU ITE mencapai 96,8 persen. Dari jumlah itu, 88 persen pelakunya dimasukkan ke penjara.

Sementara itu, Aktivis Dandhy Dwi Laksono mengatakan pernyataan Jokowi itu tak pernah terwujud dalam sebuah kebijakan. Lagipula, kata dia, dalam beberapa kasus, orang-orang yang mengkritik pemerintah tidak pernah didengar. Dandhy sendiri pernah ditangkap polisi karena cuitannya di twitter tentang Papua pada 26 September 2019. Ia dituduh melanggar Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU No.8 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 No.1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana

Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) sendiri merasa heran karena banyak yang menyerangnya terkait pernyataannya tentang bagaimana mengkritik pemerintah tanpa dipolisikan. Menurut JK, pernyataannya itu merupakan pertanyaan yang muncul dari kegelisahan masyarakat dan betujuan kebaikan pemerintah itu sendiri (jppn.com).

Ketika tokoh sekelas mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) mempertanyakan cara merespons keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dikritik tanpa harus berurusan dengan aparat keamanan, menunjukkan kalau kepercayaan publik terhadap pemerintah makin luntur.

Menurut pemerhati politik, M Rizal Fadillah, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (15/2/2021), UU ITE itu serupa dengan UU Anti Subversi pada era Orde Baru (Orba). Bahkan, kini lebih terkepung lagi dengan penafsiran luas UU Anti Diskriminasi, UU Kekarantinaan Kesehatan, hingga KUHP soal penghasutan dapat diterapkan.
Kita Hidup di Era Fitnah

Sesungguhnya kini kita hidup di era fitnah. Bagaimana tidak? Saat ini orang yang mengatakan yang benar dikatakan hoaks, justru kebohongan dikatakan kebenaran. Orang yang mengkritik dikatakan memprovokasi (ujaran kebencian), sementara orang yang jelas-jelas memfitnah dan mencaci maki, dikatakan membela diri atau tidak ada delik pidana.

Kondisi ini sudah dikabarjan oleh Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab,“Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum” (HR Ibnu Majah).

Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu, dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ Sesungguhnya masing-masing umat itu ada fitnahnya dan fitnah bagi umatku adalah harta [HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibni Hibbân dalam shahihnya]

Demikianlah, kita berada di era fitnah. Sehingga amat sangat wajar jika fitnah-fitnah itu terus dihembuskan. Namun bukan berarti kita diam dan tidak menyampaikan kebenaran. Tetaplah mengkritik jika ada kesalahan, tapi harus dengan cara yang elegan. Karena diam melihat kemungkaran ibarat setan bisu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata :
“Orang yang berdiam diri dari menyampaikan kebenaran (padahal ia mampu menyampaikannya) adalah Syaithon Akhros (Setan Bisu dari jenis manusia).”

Nauzubillah min dzalik.

Penulis Merupakan Pemerhati Sosial dan Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *