Komisi Kejaksaan cecar JPU kasus Novel tentang tuntutan ringan dan isu hidup mewah

JPU kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, Fedri Adhar.

Jakarta (Riaunews.com) – Pemeriksaan terhadap enam Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus penyiraman air keras Novel Baswedan berkisar soal tuntutan satu tahun penjara terhadap pelaku penyiraman. Pemeriksaan juga mendalami dugaan gaya hidup mewah salah satu JPU.

Komisi Kejaksaan (Komjak) yang memeriksa para JPU ingin mendengar alasan mereka memberikan tuntutan satu tahun penjara. Tuntutan itu dinilai sebagian pihak terlalu ringan dan tidak memenuhi rasa keadilan terhadap korban.

“Mempertanyakan apa argumentasi, apa dasarnya, itu kami lakukan,” kata Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Kamis (23/7/2020).

Baca: Polri paling diuntungkan atas vonis kasus Novel

Dari jawaban para jaksa, Komjak akan menganalisa lagi sebelum mengeluarkan rekomendasi. Namun Barita tak membeberkan alasan yang para jaksa terperiksa ihwal tuntutan satu tahun tersebut.

Dalam kesempatan itu Barita juga menjelaskan bahwa Komjak hanya mempertanyakan alasan para jaksa. Komjak, lanjut dia, tak bisa mengintervensi kewenangan jaksa dalam menetapkan tuntutan.

Pemeriksaan terhadap enam JPU kasus Novel itu dilakukan dengan teknik wawancara terpisah. Barita mengatakan Komjak akan mencocokkan masing-masing argumentasi para JPU.

Komjak dalam pemeriksaan itu juga mempertanyakan gaya hidup mewah salah satu jaksa, yakni Fedrik Adhar.

Jaksa Fedrik sempat viral di media sosial karena mengunggah foto di media sosial tentang kehidupan mewahnya sebagai seorang jaksa.

“Sudah, itu (dugaan hidup mewah) kami tanyakan juga. Semua informasi di media. Pada waktunya kami sampaikan,” ujar Barita.

Hal lain yang diperiksa adalah keputusan para JPU yang tidak menghadirkan sejumlah saksi dalam persidangan.

Baca: Dua penyiram air keras pada Novel Baswedan divonis masing-masing 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan

Barita menyebut saat pemeriksaan, JPU beralasan saksi tersebut tidak dihadirkan karena mengalami stroke. Meski demikian, Barita enggan menjelaskan secara rinci mengenai identitas saksi.

“Karena itu menyangkut teknis materi, tentu kami akan menyampaikan keseluruhan kalau kami sudah analisis secara komperhensif,” lanjut dia.

Sebelumnya, Novel menyebut setidaknya ada tiga saksi penting yang keterangannya tidak dimasukkan ke berkas perkara persidangan.

Ia mengatakan saksi tersebut tahu saat dirinya tengah diintai pihak-pihak mencurigakan sebelum peristiwa penyiraman air keras terjadi, 11 April 2017 silam.

“Ini pelaku pernah melakukan pengamatan terhadap diri saya dan saksi ini juga yang pernah bertemu dengan pelaku, sebelum pelaku menyerang saya,” kata Novel dalam diskusi webinar bersama Indonesia Corruption Watch (ICW), 18 Mei lalu.

Novel menuturkan saksi penting itu telah diperiksa penyidik Polri. Namun, ia merasa aneh keterangan para saksi itu sama sekali tidak masuk ke berkas perkara persidangan.

“Saya kemudian bertanya kepada jaksa penuntutnya, kenapa kok saksi penting ini tidak dihadirkan, tidak masuk dalam berkas perkara,” ujar dia.

Baca: JPU kasus Novel Baswedan akan dipanggil Komisi Kejaksaan usai vonis dijatuhkan

“Jaksa hanya mengatakan saya tidak tahu, kami hanya menerima dari penyidik Polri bahwa inilah saksi-saksinya,” tambah Novel.

Komjak memeriksa enam JPU kasus Novel setelah persidangan kasus teror air keras memicu polemik.

Sebagian pihak menyebut persidangan Novel ganjil. Para JPU disorot karena dianggap memberikan tuntutan ringan, satu tahun penjara kepada dua pelaku penyiraman.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara akhirnya memvonis dua pelaku penyiraman air keras masing-masing 2 tahun dan 1,5 tahun penjara.

Rahmat Kadir Mahulette sebagai pelaku divonis 2 tahun bui. Sementara Ronny Bugis divonis 1 tahun 6 bulan penjara.

Para jaksa yang diperiksa antara lain Ahmad Patoni, Muhammad Maruf, Marly Daniel Olo, Satria Irawan, Zainal dan terakhir Fedrik Adhar. Sementara Jaksa Abdul Basir tidak memenuhi pemanggilan itu.

Mereka menjalani pemeriksaan sekitar delapan jam, mulai pukul 09.00 hingga 17.00 WIB. Hasil pemeriksaan itu akan menjadi bagian dari rekomendasi Komisi Kejaksaan kepada Presiden Jokowi dan Jaksa Agung.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *