Jakarta (Riaunews.com) – Maskapai penerbangan sepertinya harus siap gigit jari tahun ini. Aturan pemerintah yang mewajibkan untuk tes polymerase chain reaction (PCR) atau rapid test semakin menghilangkan selera masyarakat untuk bepergian di tengah penyebaran virus corona.
Bukan apa-apa. masyarakat setidaknya perlu merogoh kocek sekitar Rp1,8 juta-Rp2,5 juta untuk melakukan tes PCR. Jika ingin lebih murah, rapid test bisa menjadi pilihan dengan harga Rp300 ribu-Rp500 ribu per tes.
Melansir CNN Indonesia, aturan soal tes PCR dan rapid test ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Baca: Pemerintah pilih kembangkan drone dari pada pesawat Habibie
Kebijakan ini menuai kontra dari pelaku usaha. Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra baru-baru ini mengeluhkan biaya tes PCR yang lebih mahal ketimbang harga tiket pesawat.
Prosedur itu, kata Irfan, akan memengaruhi seseorang untuk membeli tiket pesawat. Dengan demikian, bisnis di sektor penerbangan akan sulit untuk bangkit.
“Tes PCR yang Rp2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya itu jauh lebih mahal daripada (tiket) untuk bepergian,” ucap Irfan, dikutip Kamis (4/6/2020).
Proses ini juga direspons oleh Lion Air Group. Perusahaan memutuskan untuk menghentikan sementara penjualan tiket kepada penumpang domestik dan internasional mulai 5 Juni 2020 mendatang.
Ini bukan yang pertama kali maskapai mengeluarkan kebijakan serupa. Sebelumnya, manajemen Lion Air Group sempat menghentikan sementara penerbangan penumpang hingga akhir Mei 2020 dan baru kembali terbang pada awal Juni 2020.
Baca: Lion Air Group hentikan seluruh penerbangan mulai 5 Juni
Corporate Communications Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro mengatakan perseroan menilai banyak calon penumpang yang tak dapat melaksanakan perjalanan karena tidak memenuhi kelengkapan dokumen-dokumen dan ketentuan yang telah ditetapkan selama masa kewaspadaan pandemi virus corona. Dengan begitu, manajemen kembali menghentikan operasional penerbangan sementara.
“Lion Air Group harus menjaga serta memastikan kondisi kesehatan fisik dan jiwa seluruh karyawan berada dalam keadaan baik, setelah pelaksanaan operasional penerbangan sebelumnya,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia atau Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja tak menampik bahwa prosedur berupa tes PCR akan memengaruhi seseorang untuk membeli tiket pesawat. Namun, itu tidak menjadi penyebab satu-satunya penurunan permintaan di sektor transportasi udara.
Faktor lainnya, menurut dia, masih banyak masyarakat yang takut untuk bepergian dengan transportasi publik, tanpa terkecuali pesawat di tengah penyebaran virus corona. Kalau kondisinya begini terus, maka industri akan tertekan.
Baca: Luhut akui pemerintah salah dan ikut andil atas membludaknya penumpang di bandara
“Kalau angka kerugian maskapai ada di masing-masing perusahaan, tapi yang pasti kerugian secara potensial pendapatan tentu saja terjadi,” ujar Denon.
Karenanya, Denon berharap pemerintah atau dalam hal ini satgas gugus tugas penanganan virus corona bisa benar-benar memberikan target pasti kapan penyebaran virus corona bisa ditekan di dalam negeri. Jika kurva penularan bisa ditekan, maka kepercayaan masyarakat untuk bepergian kembali tumbuh.
“Saya berharap di dalam penyelenggaraan protokol kesehatan ini harus ada target penyelesaian tentang penurunan angka penyebaran virus corona,” jelas Denon.***