Jakarta (Riaunews.com) – Hubungan dagang Indonesia-Malaysia dengan Uni Eropa memanas dipicu oleh kelahiran undang-undang baru yang disepakati parlemen dan pemerintahan negara di kawasan itu untuk melindungi hutan dengan membatasi penjualan minyak sawit.
Maklum, RI dan Malaysia merupakan dua negara produsen sawit terbesar dunia. Setelah undang-undang itu disepakati, RI dan Malaysia mengancam akan menghentikan ekspor sawit ke Benua Biru tersebut.
Menteri Komoditas Malaysia Fadillah Yusof mengatakan Malaysia dan Indonesia akan membahas rencana dan masalah tersebut.
Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Rizal Affandi Lukman pembahasan kemungkinan besar akan dilakukan Menteri Perladangan Malaysia dalam pertemuannya dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada Februari mendatang.
“Statemen akan hentikan ekspor sawit kan dari Deputi PM/Menteri Perladangan Malaysia. Beliau rencana akan bertemu Pak Menko Perekonomian untuk bahas posisi bersama menghadapi praktik diskriminasi oleh UE terhadap sawit,” ujar Rizal kepada CNNIndonesia.com, Jumat (13/1).
Lalu seperti apa isi uu Uni Eropa tersebut sehingga RI-Malaysia harus ‘mencak-mencak’ hingga mengancam akan menghentikan ekspor sawit ke Uni Eropa?
Mengutip keterangan pers yang disampaikan Parlemen Uni Eropa, undang-undang baru ini akan menjamin konsumen Eropa bahwa produk yang mereka beli tidak berkontribusi pada kerusakan dan degradasi hutan, termasuk hutan primer yang tak tergantikan.
Memang, uu tersebut tak melarang negara pengekspor sawit seperti Indonesia dan Malaysia untuk mengekspor barang dagangan mereka ke Uni Eropa. Hanya saja, perusahaan pengekspor harus bisa memperlihatkan bukti bahwa barang yang mereka jual tidak merusak hutan, hingga menghilangkan hak asasi manusia.
Menurut teks yang disepakati, dilansir dari European Parliament, meskipun tidak ada negara atau komoditas yang dilarang, perusahaan tidak akan diizinkan untuk menjual produk mereka di UE tanpa pernyataan bebas dari deforestasi. Hal tersebut sesuai dengan yang diminta oleh anggota parlemen.
Perusahaan juga harus memverifikasi kepatuhan terhadap undang-undang yang relevan dari negara produksi, termasuk hak asasi manusia dan bahwa hak-hak masyarakat adat yang bersangkutan telah dihormati.
Beberapa produk yang tetap bisa diekspor tapi harus memenuhi syarat mencakup, sapi, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kedelai dan kayu. Produk lain yang juga berhubungan dengan produk-produk tersebut, seperti kulit, coklat dan furniture juga harus sesuai aturan saat diekspor.
Bukan hanya itu, selama pembicaraan, anggota parlemen juga menambahkan karet, arang, produk kertas cetak dan sejumlah turunan minyak sawit lainnya. Bahkan Parlemen juga menetapkan definisi degradasi hutan yang lebih luas.
Hal ini mencakup konversi hutan primer atau hutan yang beregenerasi secara alami menjadi hutan tanaman atau lahan berhutan lainnya dan konversi hutan primer menjadi hutan tanaman.
Komisi akan mengevaluasi selambat-lambatnya satu tahun setelah berlakunya aturan ini. Evaluasi dilakukan untuk, memastikan apakah aturan bisa diperluas ruang lingkupnya ke lahan berhutan lain.
Selambat-lambatnya dua tahun setelah berlakunya aturan ini, Komisi juga akan mengevaluasi perluasan ruang lingkup ke ekosistem lain. Termasuk lahan dengan stok karbon tinggi dan dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, serta komoditas lainnya.
Aturan ini dibuat bukan tanpa alasan. Negara-negara di UE sepakat melawan perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, dibuatlah undang-undang baru yang mewajibkan perusahaan memastikan bahwa serangkaian produk yang dijual di UE tidak berasal dari lahan gundul di mana pun di dunia.
Agar aturan yang telah ditetapkan bisa berjalan dengan baik, otoritas UE akan memiliki akses ke informasi relevan yang disediakan oleh perusahaan, seperti koordinat geolokasi, dan melakukan pemeriksaan. Mereka dapat, menggunakan alat pemantau satelit dan analisis DNA untuk memeriksa asal produk.
Komisi juga akan mengklasifikasikan negara, atau bagiannya, ke dalam risiko rendah, standar, atau tinggi dalam waktu 18 bulan sejak peraturan ini berlaku. Hukuman untuk ketidakpatuhan harus proporsional dan jumlah maksimum denda ditetapkan sekurang-kurangnya 4 persen dari total omzet tahunan di UE dari operator atau pedagang yang tidak patuh.***