Pekanbaru (Riaunews.com) – Tidak berapa lama lagi, umat Islam di seluruh dunia akan menghadapi Idul Adha, atau hari raya kurban. Tentu, hal tersebut tidak lepas dari kegiatan memotong hewan yang telah diniatkan untuk sebagai hewan kurban.
Biasanya pemotongan hewan kurban dilaksanakan di masjid atau sekitar perumahan warga secara swadaya alias gotong royong.
Nah, timbul pertanyaan, bagaimana hukumnya jika ada daging kurban yang dimasak untuk konsumsi panitia sebelum daging-daging tersebut didistribusikan?
Dikutip dari Republika, berikut penjelasan dari anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Ustaz DR Oni Sahroni, terkait masalah tersebut.
Daging kurban yang diambil terlebih dahulu sebelum didistribusikan untuk dimasak sebagai santap siang panitia (mereka yang mengurus dan mengelola hewan kurban) itu dibolehkan (mubah). Dan bagian dari adabnya, panitia menyampaikan hal ini kepada para pekurban bahwa daging itu akan didahulukan untuk dijadikan konsumsi panitia sebelum didistribusikan sebagai sedekah atau hadiah.
Hal ini karena tuntunan atau alasan berikut. Pertama, pada umumnya, panitia adalah mereka yang mengurus dan mengelola kurban dari mulai menghimpun, pembelian hewan kurban, penyembelihan, pengulitan, hingga pendistribusian kepada mereka yang berhak.
Di antara dari rangkaian pengurusan kurban itu ada daging yang dialokasikan oleh panitia untuk konsumsi makan siang saat penyembelihan. Dan yang menjadi kekhasan, pada umumnya panitia ini bukan mereka yang bertugas sebagai penyembelih profesional atau event organizer (EO) yang dibayar, tetapi mereka bagian dari warga setempat yang ditunjuk oleh ketua RT atau pengurus masjid secara sukarela karena faktor guyub dan soliditas.
Kedua, daging yang dimasak untuk konsumsi itu bukan fee atau kompensasi untuk para penyembelih atau jagal karena pada umumnya penyembelihan kurban yang terjadi di masyarakat atau di perumahan atau di RT/RW itu dilakukan oleh masyarakat tanpa kompensasi atau fee, tetapi dilakukan secara sukarela.
Oleh karena itu, penggunaan daging tersebut tidak termasuk ke dalam larangan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ali RA, ia berkata, “…. Tetapi aku dilarang oleh beliau mengambil upah untuk tukang potong (jagal) dari hewan kurban itu…” (HR Bukhari Muslim).
Karena larangan hadis tersebut berkenaan dengan kulit atau daging yang diberikan sebagai kompensasi kepada penyembelih yang menjual jasa sembelih, pengulitan, dan sejenisnya. Tetapi daging atau kulit yang diberikan kepada para panitia yang mengurus dan mengelola korban secara sukarela, sebagian memenuhi kriteria dhuafa atau sebagian memenuhi kriteria penerima hadiah.
Oleh karenanya, tidak termasuk ke dalam konteks hadis tersebut.
Ketiga, sesungguhnya daging yang dimasak untuk konsumsi itu bagian dari penyaluran atau distribusi sebagai bagian dari hadiah atau sedekah. Maksudnya dapat di-treatment sebagai hadiah atau sedekah.
Jika panitia tersebut adalah dhuafa, maka boleh menerima daging kurban. Begitu pula jika para panitia adalah warga, maka boleh menerima sebagai hadiah dengan target guyub dan soliditas.
Jika itu yang terjadi, maka mereka berhak sebagai hadiah atau sedekah.
Keempat, jika ada multitafsir antara mengategorikan penggunaan daging itu sebagai distribusi atau biaya operasional, maka lebih maslahat dikategorikan sebagai distribusi karena memudahkan, dan menjadi bagian dari kelaziman para pekurban itu merelakan. Wallahu a’lam.***