Langkat (Riaunews.com) – Sebanyak 48 warga penghuni kerangkeng manusia yang dijadikan tempat rehabilitasi di Rumah Bupati Langkat dipekerjakan sebagai buruh pabrik. Perekrut para penghuni kerangkeng ini bisa dikenai pidana kasus perdagangan orang.
Sebagaimana diketahui, perbudakan di Indonesia dilarang karena melanggar hak asasi manusia. Hal ini sudah termaktub dalam Pasal 4 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Adapun eksploitasi terhadap seseorang juga memiliki konsekuensi hukum. Jika merujuk pada pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pelaku eksploitasi orang bisa dihukum maksimal 15 tahun penjara.
Pasal 2
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penghuni Kerangkeng Dipekerjakan Tanpa Dibayar
Polisi menyebut para penghuni kerangkeng di rumah Bupati Langkat dipekerjakan tapi tidak diberi upah.
“Sebagian dipekerjakan di pabrik kelapa sawit milik Bupati Langkat. Mereka tidak diberi upah seperti pekerja,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Selasa (25/1/2022).
Ramadhan berkata mereka dipekerjakan dengan tujuan memberi pembekalan jika sudah keluar dari kerangkeng manusia tersebut. Diketahui, jumlah warga penghuni kerangkeng tersebut semula ada 48 orang.
Namun, saat polisi mendatangi lokasi, jumlahnya tinggal 30 orang. Mereka semua kini sudah dipulangkan ke keluarga masing-masing.
“Jumlah warga binaan, yang semula berjumlah 48 orang kemudian hasil pengecekan tinggal 30 orang selebihnya sudah pulang,” ungkap Ramadhan.
Sebelumnya, penemuan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat awalnya diungkap oleh Migrant CARE yang melaporkan temuan itu ke Komnas HAM. Migrant CARE menyebut kerangkeng manusia itu terletak di bagian belakang rumah Bupati Langkat.
“Berdasarkan laporan yang diterima Migrant CARE, di lahan belakang rumah Bupati tersebut, ditemukan ada kerangkeng manusia yang dipekerjakan di kebun kelapa sawitnya mengalami eksploitasi,” ucap Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE, Anis Hidayah, dalam keterangannya, Minggu (23/1/2022).
Anis menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap kemanusiaan. “Kiat merupakan praktik perbudakan modern,” katanya.
Sementara itu, serikat buruh pun menyesalkan temuan diduga kerangkeng manusia di Rumah Bupati Langkat. Serikat buruh mendorong polisi mengusut tuntas hal ini.
“Jika hal itu benar, maka kami sangat mengutuk keras perbuatan yang tidak berperikemanusiaan itu, dan kami minta agar kepolisian segera mengusut kasus ini, apa alasannya Bupati Langkat punya penjara khusus buruhnya ini,” kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Willy Agus Utomo, Senin (24/1/2022).
Jika benar kerangkeng itu digunakan untuk memenjarakan buruh, kata Willy, perbuatan tersebut sangat melanggar undang-undang. Menurutnya, hal ini menjadi yang pertama kali terjadi di Indonesia.***