Jakarta (Riaunews.com)- Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menganalisis tuntutan bebas terdakwa Supriyani, guru honorer SDN 4 Baito oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).
JPU Ujang Sutisna saat membacakan surat tuntutan di PN Andoolo, Senin (11/11/2024), menyebut, walaupun perbuatan pidana dapat dibuktikan, akan tetapi tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat atau mens rea. Dengan begitu JPU menyimpulkan bentuk tindak pidana yang menimpa Supriyani merupakan bentuk mendidik siswa, sehingga tidak ada sifat yang memberatkan.
Dilansir inilah.com, Reza mengatakan pada satu sisi, redaksional tuntutan JPU mencerminkan cara pandang bahwa “actus non facit reum nisi mens sit rea”, yaitu perbuatan seseorang tidak membuatnya bersalah kecuali jika terbukti adanya niat jahat.
Baca Juga: Kapolri Janji Copot Anggota yang Terlibat Permintaan Uang Damai ke Guru Supriyani
“Pada sisi lain, terbukti atau tidaknya niat terdakwa (Supriyani), ia jelas akan merasa dirugikan. Pasalnya, di persidangan terdakwa bersikukuh tidak melakukan perbuatan memukul sebagaimana dituduhkan JPU,” kata Reza kepada inilah.com di Jakarta, Senin (11/11/2024).
Walau tuntutannya adalah bebas, menurut analisis Reza, namun kalimat JPU soal “perbuatan pidana dapat dibuktikan” dan “mendidik” bermakna terdakwa Supriyani paham (cognitive competence) dan berkehendak (volitional competence) untuk mengarahkan pukulannya semata-mata ke tubuh si anak atau siswanya itu yang merupakan anak polisi. Pukulan yang mengenai tubuh anak itu bukan ketidaksengajaan.
Ketika terdakwa secara lengkap mempunyai dua compentence tersebut, maka kesalahannya justru berada pada level tertinggi. Artinya, pada dasarnya, jika dikenai hukuman, maka hukumannya adalah yang terberat. Beruntung bahwa “mendidik” dijadikan JPU sebagai alasan pembenar atas pemukulan tersebut.
“Kerugian tidak hanya dialami terdakwa. Si anak, yang dalam dakwaan JPU menjadi sasaran pemukulan, pun dirugikan,” ucap Reza.
Penalarannya, kata Reza, ketika JPU mengakui tidak mampu membuktikan mens rea terdakwa, ketidakmampuan itu malah dijadikan dasar untuk menyimpulkan atau tepatnya mengasumsikan bahwa pukulan terdakwa pasti didorong oleh niat baik.
“Persoalannya, apa niat atau tujuan terdakwa memukul si anak? Jika memukul sebatas ekspresi amarah terdakwa, maka perilaku itu tentu sama sekali tidak layak disebut sebagai niat baik. Justru merupakan niat jahat,” ungkap Doktor Psikologi Forensik yang juga menjadi orang pertama asal Indonesia yang meraih gelar Master Psikologi Forensik ini.
Jadi, menurut analisis Reza, apakah terdakwa benar-benar berniat baik atau sesungguhnya berniat jahat, semestinya diungkap secara terang benderang di persidangan. Jika tidak diungkap, apalagi ketika JPU langsung menyimpulkannya sebagai niat baik, justru si anak seketika terpotret sebagai anak badung dan kedegilannya itu menjadi alasan bagi terdakwa untuk mendidiknya dengan pukulan.
Baca Juga: Jaksa Tuntut Bebas Guru Supriyani
“Pertanyaannya, apa tindak-tanduk si anak yang ditafsirkan terdakwa sebagai bentuk kenakalan? Dan apakah kenakalannya itu, kalau ada, memang layak untuk diganjar dengan hukuman berupa pukulan?” tutur Reza.
“Gambaran situasi serba mengambang itu sama saja dengan memberikan stigma negatif terhadap si anak, dan itu bukanlah hal yang elok untuk dilakukan JPU,” lanjut Reza yang juga sering menjadi narasumber untuk membedah kasus pidana besar di Indonesia.
Terlepas dari perkara terdakwa Supriyani, kata Reza menekankan, sikap bersama yang perlu dikunci, yakni apakah pemukulan atau kekerasan fisik terhadap anak hingga derajat tertentu bisa dimaklumi.
“Ketika orang tua murid di rumah tidak mempraktikkan pukulan sebagai bentuk pendisiplinan, namun guru menerapkan perlakuan sedemikian rupa di sekolah, apakah adil jika orangtua diharuskan untuk serta-merta menerima ketentuan di sekolah itu?” tambah mantan dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK) ini.
Sementara itu, kuasa hukum Supriyani, Andri Darmawan, dalam menyikapi tuntutan bebas JPU menilai tuntutan jaksa masih belum jelas karena alasannya tidak masuk ke dalam alasan pembenar ataupun pemaaf.
“JPU menuntut bebas, tetapi memang dia (JPU) menyatakan ada perbuatan tetapi tidak mens rea, ini menurut kami sesuatu yang aneh,” ujar Andri yang merupakan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Sulawesi Tenggara (Sultra).
Menurut Andri, karena hal tersebut pihaknya akan mengajukan sidang lanjutan dengan agenda pledoi atau pembelaan. Adapun sidang tersebut akan digelar Kamis depan (14/11/2024).***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.