Jakarta (Riaunews.com) – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Namun, hukuman terpidana kasus korupsi dan pencucian uang proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang itu pun berkurang dari semula vonis kasasi 14 tahun penjara, menjadi hanya 8 tahun penjara.
Dalam dokumen putusan PK Anas, disebutkan pertimbangan dikabulkannya itu karena alasan permohonan PK Anas atas dasar kekhilafan hakim dapat dibenarkan.
“Oleh karena judex juris telah salah dalam menyimpulkan alat bukti yang kemudian dijadikan fakta hukum tentang tindak pidana yang terjadi telah dilakukan oleh pemohon PK sehingga atas dasar fakta hukum tersebut kemudian judex juris mengubah pasal dakwaan yang terbukti di tingkat judex facto dari pasal 11 UU Tipikor menjadi pasal 12 huruf a UU Tipikor,” dikutip dari putusan majelis hakim MK yang dilihat CNNIndonesia.com.
Majelis hakim PK itu terdiri atas Hakim agung Sunarto selaku ketua majelis, yang didampingi hakim agung Andi Samsan Nganro dan hakim agung Mohammad Askin masing-masing sebagai hakim anggota.
Dalam pertimbangannya, Majelis hakim PK juga berpendapat setelah mencermati alat bukti. Dari cermatan itu ternyata uang dan fasilitas yang diterima Anas melalui PT Adhi Karya dan Permai Group dihimpun dari dana keuntungan dalam proyek pengadaan barang dan jasa serta fee-fee dari perusahan lain. Itu karena PT Adhi Karya dan Permai Group telah memenangkan berbagai proyek yang kemudian disubkontrakkan kepada perusahaan lain atau perusahaan lain yang mengerjakan proyek tersebut.
Dana tersebut kemudian sebagian dijadikan marketing fee di bagian pemasaran untuk melakukan lobi-lobi usaha agar mendapatkan proyek yang didanai APBN.
“Dari bukti bon sementara yang diajukan sebagai bukti terlihat uang yang dikeluarkan diberikan tanda-tanda/kode untuk kepentingan siapa, siapa yang mengeluarkan dan nanti uang itu akan diganti dengan proyek yang mana nanti akan didapatkan,” demikian pendapat majelis hakim.
Majelis hakim juga menyatakan, tidak ada satupun saksi dari pihak PT Adhi Karya dan Permai Group yang menerangkan Anas telah melobi pemerintah agar perusahaan tersebut mendapat proyek. Dan, tidak ada bukti yang menunjukkan pengeluaran uang dari perusahaan tersebut atas kendali Anas.
“Hanya satu saksi di Permai Group yang menerangkan tersebut, yaitu saksi [eks Bendahara Umum Demokrat] Nazaruddin. Sebagaimana hukum satu saksi tanpa didukung alat bukti lain adalah unus testis nullus testis yang tidak mempunyai nilai pembuktian,” kata majelis hakim.
Pertimbangan selanjutnya, Hakim menyebut pada proses pencalonan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, saksi yang hadir dalam penggalangan suara menyatakan pria tersebut tidak pernah berbicara teknis soal uang yang didapat dalam rangka pencalonan menjadi ketua umum. Anas disebut hanya berbicara perihal visi-misinya.
Dari fakta hukum, kata majelis Hakim, uang yang dikeluarkan Anas untuk pencalonan disebut berasal dari penggalangan dana simpatisannya atas dasar kedekatan dalam organisasi sebelumnya, yang kebetulan orang-orang itu duduk dalam struktur organisasi perusahaan serta dari kader Demokrat yang memiliki akses dalam perusahaan.
Menurut Hakim, dana dan fasilitas tersebut diberikan kepada Anas dengan harapan akan mempermudah perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan proyek yang didanai pemerintah.
Sebab, jika nantinya Anas terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan Ketua Fraksi di DPR, pria itu bakal mempunyai wewenang besar untuk mempengaruhi penataan anggaran-anggaran proyek Pemerintah dalam pembahasan di DPR.
Dengan demikian, menurut majelis hakim, apabila fakta-fakta hukum tersebut dihubungkan dengan dakwaan Pasal 12a UU Tipikor yang diterapkan Judex Juris tidak tepat. Pasalnya, pemberian dana-dana maupun fasilitas tersebut dilakukan sebelum Pemohon PK menduduki jabatan tersebut.
“Bahwa oleh karena tepat dipertimbangkan judex facto bahwa yang telah dilakukan oleh pemohon PK adalah sebagaimana Pasal 11 UU Tipikor,” demikian pernyataan Majelis Hakim PK.
Pada perkara ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sebelumnya menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada Anas. Ia terbukti menerima uang gratifikasi proyek P3SON senilai Rp20 miliar.
Anas lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Di tingkat banding hukuman Anas dipangkas menjadi tujuh tahun bui.
Namun, KPK mengajukan kasasi ke MA, yang juga diladeni Anas pada 2015. Hukuman Anas justru diperberat menjadi 14 tahun penjara. Salah satu hakim yang menangani kasasi tersebut adalah Artidjo Alkostar.
Mantan politikus Partai Demokrat itu tak tinggal diam. Ia lantas mengajukan PK pada Mei 2018 lalu atau beberapa hari selepas Artidjo pensiun.***