
Jakarta (Riaunews.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan tentang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara alias UU IKN. Keputusan itu dibacakan pada Selasa (31/5/2022).
Adapun pihak yang mengajukan gugatan itu antara lain, M. Busyro Muqoddas (Pemohon I), Trisno Raharjo (Pemohon II), Yati Dahlia (pemohon III), Dwi Putri Cahyawati (Pemohon IV), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN (Pemohon V), dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI (Pemohon VI).
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” bunyi salinan putusan MK yang Tempo dapatkan pada Selasa.
Dalam sidang ini, terdapat Hakim Konstitusi yang mengadili perkara tersebut. Mereka antara lain, Ketua Majelis Hakim Anwar Usman, dan delapan anggotanya, yakni Aswanto, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan itu karena beberapa alasan. Pertama karena permohonan pengujian formil para Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan. Sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil para Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
“Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena itu permohonan para Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 3/2022 terhadap UUD 1945 diajukan telah melewati tenggang waktu 45 hari sejak UU 3/2022 diundangkan,” bunyi keputusan tersebut.
Dalam penjelasannya, gugatan terhadap UU IKN didaftarkan pada 21 Januari 2022. Sementara, UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak Undang-Undang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021.
Sehingga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, gugatan UU IKN itu telah melewati batas waktu yang ditentukan untuk uji formil, yakni 45 hari.
“Kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil para Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” bunyi konklusi pada amar putusan tersebut.
Sebelumnya, dalam gugatannya para pemohon menyatakan pembentukan UU IKN tidak mengakomodir partisipasi dalam arti sesungguhnya. Sedangkan, menurut penggugat, partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu demokrasi dan ciri khas dari modernisasi politik.
Partisipasi masyarakat dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan untuk menghindari adanya kepentingan di luar kepentingan masyarakat.
Para pemohon juga menyebut banyak pakar ekonomi menyoroti ihwal prioritas pemerintah untuk memindahkan IKN dengan menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN. Padahal, sampai hari ini Indonesia belum mencabut status darurat Covid-19.***