Jakarta (Riaunews.com) – Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Eliasta Meliala menduga satu keluarga yang meninggal di dalam rumah di Kalideres meregang nyawa karena bunuh diri.
Dugaan ini menurutnya terlihat dari fakta seperti memutus komunikasi dengan orang-orang sekitar, mengunci diri, tidak makan dan minum, serta tidak membayar tagihan listrik ke PLN.
“Itu suatu indikasi bahwa mengambil jarak dengan lingkungan untuk tujuan tertentu. Itu adalah menurut saya bunuh diri baik yang bersifat homicide maupun suicide,” ujarnya, dilansir Tempo, Sabtu (19/11/2022).
Adrianus menilai ada suatu keadaan yang memaksa untuk tidak makan dan minum. Namun kemungkinan dari empat orang yang meregang nyawa itu ada yang melakukannya secara sukarela.
“Atas dasar itu maka saya mengajak kita semua berpikir lagi, kenapa ada orang mau bunuh diri? Padahal tidak ada indikasi yang bersangkutan itu terlalu miskin, atau berada dalam situasi perang, atau mengalami kekecewaan yang luar biasa. Kok ada ya orang yang mau melepaskan nyawa dalam situasi yang tenang seperti itu?” tuturnya.
Tetapi anggapan itu bisa terbantahkan kalau ditemukan fakta satu keluarga ini mengalami musibah. Kemungkinan lain juga seperti ada yang memiliki penyakit dan mendiamkan saja sampai satu per satu orang dalam rumah itu meninggal.
Perihal kemungkinan mengikuti suatu ajaran, masih belum ada bukti yang menguatkan. Walaupun beberapa waktu lalu polisi menyita sejumlah buku tentang agama dan motivasi.
Dugaan Aliran Apokaliptik
Menurut Adrianus, ada perbedaan jika seseorang mengikuti suatu sekte atau menganut aliran apokaliptik. Dia pun meninjau seperti kasus pengikut sekte di kuar negeri, bahwa pasti ada guru atau seseorang yang dihormati oleh pengikutnya.
Namun pada kasus di Kalideres ini belum terbukti ada indikasi pada kemungkinan itu.
“Ada kemungkinan mereka yang mempercayai ini tidak masuk sekte, maka artinya ada ketuanya, gurunya. Menarik kita tahu siapa gurunya. Di beberapa kasus itu ada unsur uang juga, jadi para korban ini yang bunuh diri diminta untuk setor, menyumbang uang kepada ketuanya,” katanya.
Maka dari itu, kata Adrianus, polisi kembali pada titik nol yang melihat langsung pada kondisi empat jenazah tersebut. Sebab secara ilmiah dengan berbagai lintas keilmuan bisa membuat para mayat itu ‘berbicara’ motif kematiannya.
Dia menilai pengungkapan kasus ini butuh fakta-fakta yang berkesinambungan dan bisa menjawab. Mengingat kasus ini rumit, maka polisi juga harus mendapat bukti agar bisa dimasukkan ke dalam berita acara pemeriksaan (BAP) soal kematian misterius ini.
“Mereka polisi mungkin mengamini analisis saya, tapi juga kekurangan bukti untuk satu BAP hukum. Kita tunggu saja apa yang menjadi kinerja kepolisian,” ujar Adrianus.
Polisi Belum Temukan Motif Kematian
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi mengatakan pihaknya sudah bisa mematahkan beberapa motif kematian keluarga tersebut. Namun pihaknya butuh waktu untuk menyelidiki lebih jauh.
Hengki juga belum bisa menyimpulkan bahwa ada indikasi pengikut sekte dari empat jenazah tersebut. Karena dalam proses penyelidikan tidak bisa langsung berpikiran seperti itu.
“Dalam melaksanakan penyelidikan suatu kasus, kami dari penyidik tidak boleh memiliki mindset, misalnya sekte. Jadi bakal membuktikan bahwa ini adalah sekte itu tidak boleh. Kita benar-benar dari nol,” tuturnya, Rabu, 16 November 2022.
Barang bukti lain yang ditemukan sejauh ini di rumah satu keluarga meninggal di Kalideres itu selain buku bacaan adalah handphone, buku catatan, dan sejumlah barang lainnya.