Moscow (Riaunews.com) – Konflik geopolitik di Eropa Timur yang melibatkan Rusia dan Ukraina, serta beberapa negara NATO berpotensi menimbulkan perang.
Diperkirakan, perang akan pecah di pertengahan bulan ini atau tepatnya pada 15 Februari 2022 ini.
Pengamat keuangan Ariston Tjendra mengatakan, jika perang Rusia-Ukraina benar-benar terjadi, maka kekhawatiran pasar meningkat karena perang ini bisa melibatkan banyak negara dan menganggu pemulihan ekonomi global.
Menurutnya, pelaku pasar bakal mengalihkan uangnya ke aset aman, sehingga dolar Amerika Serikat (AS), emas, yen Jepang, franc Swiss bisa menguat.
“Sementara, harga aset-aset berisiko yakni indeks saham bisa terkoreksi. Kemudian, harga minyak mentah berpotensi naik juga karena perang bisa menganggu suplai dan distribusi minyak mentah, angka 100 dolar AS per barel bisa tercapai,” ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, Jumat (11/2/2022).
Di sisi lain, memang terlihat bahwa negara Eropa Barat tidak menginginkan dukungan konfrontasi militer terhadap Rusia, dan sebisa mungkin mencegah perang itu terjadi.
Sebab, beberapa negara di Eropa Barat, di antaranya Jerman memiliki ketergantungan sumber daya energi terhadap Rusia.
“Namun kalaupun adanya dukungan Eropa Barat, yang tergabung juga dalam aliansi NATO, pasti akan membantu. Bisa langsung ataupun tidak langsung melalui sanksi-sanksi ekonomi,” kata Ariston.
Sementara itu, ketika pertanyaan siapa dapat untung dari perang ini muncul, tentu Negeri Beruang Merah akan menang banyak.
Hal ini dikarenakan kemungkinan besar jika Rusia jadi melakukan invasi ke Ukraina, mereka akan memenangkan perang tersebut.
Selain mendapatkan sebagian wilayah Ukraina, Rusia juga mendapat untung dari naiknya harga minyak dunia, di mana sebagai satu di antara produsen terbesar dunia. ***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.