Paris (Riaunews.com) – Tekanan terhadap Muslim di Prancis, termasuk organisasi Islam dan masyarakat sipil, terus meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini terjadi semenjak pemerintah mengumumkan apa yang mereka sebut dengan perang melawan separatisme Islam.
Dilansir dari laman Yeni Safak pada Selasa (10/11/2020), pada 1 September, majalah pekanan Prancis Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun-kartun hujatan yang menghina Nabi Muhammad SAW menjelang persidangan serangan 2015 di kantor mereka.
Kurang dari sebulan kemudian, dua orang terluka dalam serangan menggunakan pisau di dekat bekas kantor Charlie Hebdo.
Serangan pada 25 September diikuti pidato kontroversial Presiden Prancis, Emmanuel Macron pada 2 Oktober, di mana dia mengumumkan rencana untuk mengatasi separatisme Islam, dan merestrukturisasi Islam di Prancis. Pemerintah di Prancis segera memulai operasi melawan organisasi, dan tempat ibadah Islam atas nama memerangi radikalisme.
Tekanan terhadap umat Islam di negara itu semakin meningkat setelah seorang guru Prancis, Samuel Patty yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelas, dibunuh pada 16 Oktober.
Dalam pembelaan mereka, Macron mengatakan Prancis tidak akan melepaskan kartun tersebut setelah pembunuhan Patty. Ucapannya memicu kemarahan di dunia Muslim dengan banyak yang menyerukan boikot produk Prancis.
Kartun provokatif tersebut juga diproyeksikan di beberapa hotel dan gedung resmi di kota Montpellier, Toulouse, dan Beziers. Sementara itu, Polisi Prancis menggerebek rumah tokoh Muslim terkemuka setelah pembunuhan Paty.
Baca: Ikuti Imbauan MUI, Indragiri Mart Boikot Produk Prancis
Selanjutnya, perintah deportasi dikeluarkan untuk 200 orang, dan lebih dari 50 asosiasi serta organisasi Islam sedang diselidiki. Beberapa organisasi, seperti Collective against Islamophobia in France (CCIF) dan Barakacity dibubarkan.
Langkah-langkah pemerintah tampaknya semakin memicu Islamofobia masyarakat Prancis. Pada 18 Oktober, dua wanita Muslim asal Aljazair ditikam di dekat Menara Eiffel di Paris.
Dua hari kemudian, di kota Nimes, seorang wanita yang diduga mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya menelepon polisi untuk melaporkan suaminya yang beragama Katolik sebagai seorang Islamis radikal.
Pada 22 Oktober, di kota Angers, dua warga negara Yordania diserang karena berbicara bahasa Arab.
Di samping itu, pelajar dan masjid juga menjadi sasaran. Di kota Blois, seorang warga negara Chechnya berusia 22 tahun ditahan karena menyukai foto pembunuhan guru Prancis di media sosial.
Lebih jauh ke selatan, seorang siswa Afghanistan berusia 14 tahun dilaporkan ke polisi Marseille oleh gurunya karena menyambut pembunuhan Paty. Tujuh keluhan serupa lainnya dilaporkan di wilayah yang sama.
Pada pekan lalu di Albertville, tenggara Prancis, empat anak sekolah dasar diteror selama lebih dari 11 jam dalam penahanan polisi atas tuduhan palsu membenarkan terorisme.
Baca: Al Qaeda Ancam Bunuh Emmanuel Macron
Sebuah pesan ancaman dikirim ke sebuah masjid di bawah Visi Nasional Masyarakat Islam (CIMG) di Chateaudun, Prancis, menyatakan, “Perang telah dimulai, kami akan mengusir Anda dari negara kami”.
Di sisi lain, Menteri Ekonomi Prancis, Bruno Le Maire, menuduh beberapa kota menyerah pada ide politik Islam, karena mengizinkan sesi pribadi untuk wanita di kolam renang.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Prancis, Geral Darmanin mengatakan, menolak dokter atau guru lawan jenis akan didenda berdasarkan undang-undang baru yang menentang separatisme Islam.
Jurnalis feminis Prancis, Elisabeth Levy menyarankan umat Islam yang mengenakan jilbab melepas penutup rambut mereka selama beberapa hari untuk menghormati guru yang terbunuh.***