Jakarta (Riaunews.com) – Pakar hubungan internasional dari Universitas Pandjadjaran (UNPAD) Teuku Rezasyah membagikan perspektifnya. Dia menilai ‘diamnya’ NATO dalam konflik yang terjadi di Ukraina karena keder dengan Rusia.
“Negara-negara NATO ngeri akan dahsyatnya kekuatan militer Rusia yang teknologinya asli dan mustahil diembargo,” kata Rezasyah, sebagaimana dikutip dari Detikcom, Jumat (25/2/2022).
Dua negara inti NATO yakni Jerman dan Prancis dinilai Rezasyah masih trauma dengan kekalahan mereka melawan Rusia di masa lalu. Di sisi lain, negara Eropa yang punya empat musim itu juga butuh suplai gas dari Rusia.
Baca Juga:
- Diinvasi Rusia, Ukraina Seperti Di-ghosting NATO
- Final Liga Champions Akhirnya Dipindah dari Rusia ke Prancis
- Tentara Rusia Masuk Ibu Kota Ukraina, Warga Diminta Lawan Pakai Molotov
“Keduanya juga ngeri jika suplai gas dari Rusia diputus. Akan sangat merusak ekonomi mereka untuk jangka panjang.
Sementara itu, menurut pakar hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riza Noer Arfani berpendapat kondisi ini seperti ‘blessing in disguise’ atau ‘berkah terselubung’ dari sikap NATO yang kurang sat set sat set. NATO memang tidak perlu gegabah soalnya negaranya Putin bukanlah negara lemah.
“Ada blessing in disguise. Kalau NATO mengambil tindakan terburu-buru, eskalasinya bisa tidak terkendali. Barat sedang berhadapan dengan rezim Putin yang belum diketahui betul langkahnya. Mereka juga tidak bisa menanggapi aliansi Rusia dengan China, Iran, dan Suriah. Tanggapan strategis militer nampak tidak ada,” kata Riza kepada Perspektif, Jumat (25/2/2022).
AS dan sekutunya di NATO masih memperhitungkan secara rasional. Ada kemungkinan bila tentara NATO langsung turun tangan menghadapi pasukan Rusia di perbatasan Ukraina-Rusia, maka perang yang lebih besar bakal terjadi, korban jiwa yang jatuh bisa lebih banyak ketimbang saat ini. Meskipun tetap, korban jiwa sipil dari peperangan ini tidak bisa diremehkan betapapun sedikitnya, betapapun banyaknya, dan siapapun mereka.
“Nanti akan ada langkah yang lebih non-militer daripada mengorbankan kestabilan kawasan secara umum,” kata Riza.
Sejauh ini, Ukraina dilihatnya seperti ‘buffer state’ atau negara penyangga dari NATO. Ukraina memang bukan anggota NATO, namun Ukraina sudah dekat dengan NATO.
Rusia adalah negara dengan hulu ledak nuklir terbanyak, yakni 6.255 hulu ledak. AS punya 3.750 hulu ledak nuklir, jumlah yang dimumumkan AS pada 5 Oktober 2021, dilansir AFP. Ada risiko perang nuklir bila NATO gegabah memerangi Rusia secara langsung.
“Bisa juga ada dimensi bahwa mereka berhadapan dengan musuh yang tidak terlalu terdeteksi tindakan-tindakannya. Nuklir menjadi salah satu pertimbangannya,” kata Riza.***