Sabtu, 7 September 2024

Pemicu Perang Rusia-Ukraina: Pencaplokan Krimea hingga Keanggotaan NATO

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Tentara Ukraina bersiap menghadapi militer Rusia yang peralatannya jauh lebih besar.

Kiev (Riaunews.com) – Pemicu perang Rusia-Ukraina kembali menjadi tanda tanya setelah perang meletus antar kedua belah pihak. Tepat hari ini, Kamis 24 Februari 2022 Rusia menyerang Ukraina hingga berujung terdengar rentetan ledakan di mana-mana.

Invasi skala penuh diluncurkan Rusia ke berbagai wilayah Ukraina. Bahkan sederet infrastruktur militer hingga penjaga perbatasan Ukraina tak lepas dari serangan.

Lalu bagaimana pemicu perang Rusia-Ukraina hingga berujung invasi? Ini rangkumannya sebagaimana dilansir Detikcom.

Perdagangan-Pencaplokan Krimea

Dilansir BBC, pada 2013 hubungan Rusia dan Ukraina menegang karena kesepakatan politik dan perdagangan penting dengan Uni Eropa. Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, menolak perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa demi hubungan yang lebih dekat dengan Moskow. Penolakan itu memicu gelombang protes massa hingga Viktor Yanukovych digulingkan dari jabatannya pada 2014.

Pada Maret 2014, Rusia mencaplok Krimea, sebuah semenanjung otonom di Ukraina selatan dengan loyalitas Rusia yang kuat. Pencaplokan itu dilakukan dengan dalih bahwa Rusia membela kepentingannya dan kepentingan warga negara yang berbahasa Rusia.

Kala itu, ribuan tentara berbahasa Rusia membanjiri semenanjung Krimea. Dalam beberapa hari, Rusia selesai mencaplok Krimea di mana Ukraina dan sebagian besar dunia menyebutnya sebagai hal yang ‘tidak sah’.

Pencaplokan di Semenanjung Krimea juga mendorong pecahnya pemberontakan separatis pro-Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk, di mana kedua wilayaha tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dari Ukraina. Pemberontakan itu memicu pertempuran sengit selama berbulan-bulan.

Saat itu, Ukraina dan Barat menuduh Rusia mengirim pasukan dan senjatanya untuk mendukung pemberontak. Rusia membantahnya dan menuduh orang Rusia yang bergabung dengan separatis adalah sukarelawan.

Dalam pertempuran dengan pemberontak separatis, lebih dari 14.000 orang tewas. Donbas, jantung industri di Timur Ukraina, hancur akibat pertempuran tersebut.

Pada 2015, Ukraina dan Rusia menandatangani kesepakatan damai di Minsk, yang ditengahi oleh Prancis dan Jerman. Meski begitu kesepakatan damai tercoreng dengan dilanggarnya gencatan senjata berulang kali.

Rusia Minta Ukraina Tak Gabung NATO

Perang Rusia Ukraina juga dipicu oleh keinginan Ukraina untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Rusia pun menanggapinya dengan keras, di mana awal pendiriannya bertujuan melawan ancaman ekspansi Rusia pascaperang di Eropa.

Diketahui aliansi tersebut didirikan pada tahun 1949 dan telah berkembang ke 30 negara, termasuk bekas republik Soviet seperti Lituania, Estonia dan Latvia. Aliansi tersebut menyatakan bahwa jika satu negara diserang atau diserang oleh pihak ketiga, semua negara di NATO akan secara kolektif memobilisasi pertahanannya.

Rusia menuntut jaminan dari NATO bahwa Ukraina dan Georgia- bekas Republik Soviet lainnya yang sempat diinvasi Rusia pada 2008- tidak akan bergabung dengan aliansi tersebut. Pemerintahan Biden dan sekutu NATO mengatakan Putin tidak dapat membatasi hak Ukraina. Meski begitu hingga saat ini belum ada proses untuk memberikan keanggotaan NATO baik untuk Ukraina maupun Georgia.

Presiden Rusia Vladmir Putin sangat marah dengan prospek pangkalan NATO di sebelah perbatasannya dan menyebut bergabungnya Ukraina dengan aliansi transatlantik pimpinan AS itu akan menandai perlintasan ‘garis merah’ antar keduanya.

Moskow melihat meningkatnya dukungan untuk Ukraina dari NATO — dalam hal persenjataan, pelatihan dan personel — sebagai ancaman bagi keamanannya sendiri. Moskow juga menuduh Ukraina meningkatkan jumlah pasukannya sendiri dalam persiapan untuk upaya merebut kembali wilayah Donbas, yang dibantah Ukraina.

Putin juga pernah menyerukan perjanjian hukum khusus yang akan mengesampingkan ekspansi NATO lebih lanjut ke arah timur menuju perbatasan Rusia. Putin menambahkan bahwa NATO yang mengerahkan senjata canggih di Ukraina, seperti sistem rudal, akan melewati “garis merah” bagi Rusia, di tengah kekhawatiran Moskow bahwa Ukraina semakin dipersenjatai oleh kekuatan NATO.

Ukraina pun dengan tegas menolak larangan Rusia soal keinginan bergabung dengan NATO.

Ukraina Tolak Permintaan Rusia Soal Gabung NATO

Pemerintah Ukraina dengan tegas mengatakan Rusia tidak memiliki hak mencegah negara tersebut membangun hubungan yang lebih dekat dengan NATO, jika mau.

“Rusia tidak dapat menghentikan Ukraina untuk semakin dekat dengan NATO dan tidak memiliki hak untuk berbicara dalam diskusi yang relevan,” kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan kepada CNN, sebagai tanggapan atas seruan Rusia agar NATO menghentikan ekspansi ke arah timur.

“Setiap proposal Rusia untuk membahas dengan NATO atau AS apa pun yang disebut jaminan bahwa aliansi (NATO) tidak akan berkembang ke Timur adalah tidak sah,” tambahnya.

Ukraina menegaskan Rusia sedang berusaha untuk mengacaukan negara mereka, di mana Presiden Volodymyr Zelensky, baru-baru ini mengatakan plot kudeta, yang melibatkan Ukraina dan Rusia, telah terungkap.

Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba memperingatkan bahwa kudeta yang direncanakan dapat menjadi bagian dari rencana Rusia menjelang invasi militer.

Pada November 2021, citra satelit memperlihatkan penumpukan pasukan baru Rusia di perbatasan dengan Ukraina. Ukraina menyebut Rusia telah memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya.

Kemudian pada 7 Desember 2021, Presiden AS Joe Biden memperingatkan Rusia tentang sanksi ekonomi dari Barat jika menyerang Ukraina. Selang 10 hari kemudian, Rusia mengajukan tuntutan keamanan yang terperinci kepada Barat, termasuk bahwa NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa timur dan Ukraina. Rusia juga meminta NATO untuk tidak pernah menerima Ukraina atau negara-negara bekas Soviet lainnya sebagai anggota.

Pada 10 Januari 2022, pejabat AS dan Rusia bertemu di Jenewa untuk pembicaraan diplomatik namun gagal. Rusia mengulangi tuntutan keamanan yang menurut AS tidak dapat diterima. Selang dua pekan kemudian, NATO menempatkan pasukan dalam keadaan siaga dan memperkuat kehadiran militernya di Eropa Timur dengan lebih banyak kapal dan jet tempur. Beberapa negara Barat mulai mengevakuasi staf kedutaan dari Kiev.

Kemudian tanggal 26 Januari 2022, Washington memberikan tanggapan tertulis terhadap tuntutan keamanan Rusia, mengulangi komitmen terhadap kebijakan “pintu terbuka” NATO sambil menawarkan “evaluasi yang berprinsip dan pragmatis” atas keprihatinan Moskow. Peringatan soal invasi Rusia pun disampaikan berulang kali meski sempat meleset dari perkiraan.

Perang Rusia-Ukraina Dimulai!

Tepat hari ini, 24 Februari 2022 perang telah dimulai. Suara-suara ledakan terdengar di sejumlah tempat di Ukraina.

Suara-suara ledakan terdengar pada Kamis pagi waktu setempat di Kiev, ibu kota Ukraina dan kota pelabuhan Mariupol, tak lama setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi untuk “demiliterisasi” negara itu.

Ledakan juga terjadi di Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina, yang terletak 35 kilometer (20 mil) selatan perbatasan Rusia dan di luar zona timur di mana pasukan Ukraina telah memerangi pemberontak yang didukung Moskow sejak 2014.

Putin memperingatkan akan ada konsekuensi berat bagi negara-negara lain yang ikut campur dalam perang tersebut.

“Setiap upaya untuk campur tangan akan mengarah pada konsekuensi yang belum pernah Anda lihat,” kata Putin.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *