Senin, 25 November 2024

Pemindahan Ibu Kota: Belajar dari Kisah Naypyidaw, Ibu Kota Myanmar yang Kesepian di Tengah Kemegahan

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Jalanan yang lebar di Naypyidaw, Ibu Kota Myanmar, namun sepi dari hilir-mudik kendaraan. (Foto: BBC)

Jakarta (Riaunews.com) – Rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta memang harus dipikirkan matang-matang. Jangan sampai, ibu kota baru itu berakhir menjadi kota ‘hantu’ seperti yang terjadi di Myanmar.

Ada perbedaan signifikan terkait rencana pemindahan ibu kota antara Myanmar dengan Indonesia. Myanmar memindahkan ibu kotanya dari Yangon ke Naypyidaw pada 2005 di tengah kediktatoran pemerintahan militer.

Sayangnya, kota megah yang The Independent sebut luasnya empat setengah kali lebih luas dari London itu benar-benar sepi penduduk.

Business Insider Singapura pada 22 Juni 2017 membandingkan kota Naypyidaw yang memiliki penduduk hanya 924.608 jiwa, sedangkan penduduk London pada 2016 sekitar 8,63 juta.

Myanmar memindahkan ibu kotanya dari Yangoon ke Naypyidaw pada November 2005 dengan biaya US$4 miliar.

Keputusan pemindahan ibu kota Myanmar ke eks ladang tebu itu memang penuh misteri dan spekulasi. Bahkan, pembangunan kota baru itu disebut sangat rahasia dan tidak ada yang tahu waktu mulai konstruksi pertama dilakukan.

Seperti dikutip dari berita The Guardian pada 19 Maret 2015, Naypydaw adalah proyek kesombongan Than Shwe, mantan pemimpin militer negara tersebut.

keputusan pemindahan ibu kota itu dinilai ilusi keagungan dari eks pemimpin militer Myanmar tersebut. Apalagi, Myanmar memiliki tradisi raja Burma yang sering menggeser ibu kota atas saran peramal.

Salah satu contohnya, Raja Mindon mendirikan Mandalay, ibu kota Myanmar, pada 1857 untuk memenuhi ramalan tersebut. Keputusan Than Shwe pun kemungkinan besar ada pengaruh dari sana.

Ada pula teori lainnya yakni, Junta, pasukan militer Myanmar, ingin menjauhkan ibu kota dari laut karena takut dengan invasi amphibi Amerika Serikat (AS). Namun, ibu kota baru itu malah lebih dekat dengan daerah pergolakan dari kalangan minoritas tertindas seperti, Karen dan Rohingya.

Kala itu, Rezim Than Shwe menyebutkan pemindahan ibu kota ke Naypyidaw untuk membangun Canberra atau Brasilia yang baru. Ibu kota administratif itu diharapkan bebas dari kemacetan dan padatnya populasi penduduk seperti, di Yangon.

Namun, Benedict Rogers dan Jeremmy Woodrum justru membisikkan lewat buku Than Shwe : Unmasking Burma’s Tyrant kalau pemindahan ibu kota itu juga cara rezim menghindari pemberontakan.

Kemegahan di Negara Miskin

Dalam tulisan Matt Kennard dan Claire Provost salah satu mitra The Guardian di Centre for Investigative di London mendeskripsikan, berkendara di Naypyidaw bisa membuat lupa kalau negara itu adalah salah satu yang miskin di Asean. Jalanan yang sangat luas ditambah banyak bangunan raksasa sampai hotel bergaya villa bak negara maju.

Hal serupa juga diceritakan oleh David Pilling lewat artikelnya di Financial Times berjudul Naypyidaw : Myanmar’s Ghost City pada 27 November 2012.

Dia menceritakan kemewahan bandara internasional Naypyidaw yang didesain oleh desainer bandara Changi Singapura.

Bedanya, jika kepadatan bandara Changi Singapura bisa mencapai 3,5 juta orang per tahun. Namun, David hanya melihat 11 orang yang melakukan check in untuk 1 penerbangan dari 3 penerbangan yang tersedia pada hari itu.

Setelah rezim Than Shwe berakhir pada Maret 2011, sempat muncul isu pemindahan ibu kota kembali ke Yangon.

Menteri Perindustrian Myanmar saat itu U Soe Thane mengaku telah menolak setiap saran pemindahan ibu kota kembali ke Yangon setelah pemimpin militer itu pensiun.

“Ibu kota Myanmar akan tetap di sini hingga 100 tahun lagi. Ini adalah Wahington DC kami,” ujarnya seperti dikutip dari Financial Times.

Myanmar memang sudah lepas dari kepemimpinan militer menjadi sipil 2011. Pelantikan Htin Kyaw sebagai kepala negara menjadi simbol penguasaan negara itu oleh sipil.

Namun, penduduk sekitar masih sedikit takut untuk berbicara banyak.

“Pemerintahan memang telah berganti, tetapi semuanya tetap sama,” ujar salah satu warga yang pindah ke Naypyidaw pada 2010.

Warga itu menceritakan, kota ini dibangun untuk staf pemerintahan dan menilai tidak ada yang menarik dari kota tersebut.

“Mayoritas orang di sini tidak begitu bahagia. Mereka tinggal di sini demi mendapatkan penghasilan,” ujarnya.

Salah satu pekerja asing di sana mengaku lebih pilih jalan lima jam dengan mobil atau naik pesawat dengan tarif US$350 sekali jalan [pada 2012] dari Yangon ketimbang harus tinggal di Naypydaw.

Seorang pekerja LSM Inggris di Yangon mengakui, kota itu cukup aneh karena sangat kosong.

“Itu adalah tempat yang aneh, tetapi ibu kota di sana sehingga terpaksa harus berkunjung ke sana,” ujarnya.***

 

Sumber: Bisnis.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *