Colombo (Riaunews.com) – Sementara Eropa sedang dilanda krisis yang mengguncang dunia akibat invasi Rusia, di Asia, dua negara tengah dilanda krisis politik hebat. Sri Lanka dan Pakistan, dua sekutu China ini di saat yang nyaris bersamaan, dihadapkan pada kekacauan politik dan krisis demokrasi.
Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi yang panjang yang diperparah oleh pandemi. Rakyat yang terhimpit melakukan demo besar-besaran, menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa dan para menterinya mundur. Para menteri akhirnya berbondong-bondong mundur, tetapi tidak dengan Rajapaksa. Sri Lanka, yang memiliki kemitraan erat dengan China di berbagai bidang, pun dihantam kerusuhan.
Di Pakistan, Perdana Menteri Imran Khan juga menghadapi hal yang sama. Ia dituduh gagal mengelola ekonomi, serta memiliki kebijakan luar negeri yang tidak baik. Mosi tidak percaya pun diluncurkan parlemen kepada pria yang disebut-sebut dekat dengan Xi Jinping ini.
Sebenarnya, bukan hal yang aneh mendengar carut marut politik di dua negara ini. Bertahun-tahun demokrasi kedua negara ini sudah sangat kacau.
“Sekarang, apakah Anda tahu kesamaan apa yang dimiliki Sri Lanka dan Pakistan, selain penguasa yang gagal total? Mereka memiliki koneksi yang sama; China!” ujar Palki Sharma Upadhyay, di saluran Wion yang ditayangkan pada Kamis (7/4/2022).
Upadhyay mengatakan bahwa dua negara yang sedang dilanda krisis parah itu adalah sekutu erat China dan telah lama menjalin hubungan bilateral. Sekarang, saat keduanya sedang diterjang krisis, China seperti meninggalkan keduanya begitu saja.
Kisruh politik di masing-masing negara itu adalah urusan dalam negeri mereka. Namun, salah satu hal yang memicunya adalah krisis ekonomi. Perekonomian yang buruk dan naiknya harga-harga telah menjadi alasan bagi oposisi untuk melakukan manufernya.
Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Cadangan devisanya turun menjadi sekitar 1,6 miliar dolar AS pada akhir November 2021, itu hanya cukup untuk membayar impor selama beberapa minggu, menurut laporan BBC.
Utang ke China pun menumpuk untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.
Pemerintah terpaksa membatasi impor beberapa komoditas penting, termasuk bahan makanan, untuk mempertahankan cadangan dolar vitalnya. Langkah ini, ditambah dengan meningkatnya harga bahan bakar dan angkutan, membuat harga kebutuhan pokok seperti susu bubuk dan beras jauh lebih tinggi.
Biaya hidup yang meroket bukan hanya masalah bagi Sri Lanka tetapi juga Pakistan yang sedang berjuang melawan lonjakan inflasi.
“Kedua negara bertaruh pada investasi China karena mereka menghargai (persahabatan) dengan Xi. Namun, pada dasarnya mereka membuat kesepakatan dengan iblis, dan seperti biasa iblis tidak peduli,” kata Upadhyay.
China telah meninggalkan Imran Khan dan Rajapaksa ketika ia sudah meraih impiannya. China tidak peduli. Ia telah meninggalkan kedua sekutunya. Ia seakan menolak untuk membantu kedua sahabatnya yang dilanda krisis.
Xi menjual mimpi kepada Sri Lanka dengan Kota Pelabuhan Kolombo (Colombo Port City), sebuah kota metropolitan berkilau yang menjulang tinggi di sepanjang tepi laut ibu kota negara itu. Kota itu diproyeksi akan menjadi pusat keuangan internasional lepas pantai, area perumahan dan marina – dan bisa setara Dubai, Monako atau Hong Kong.
“Dan hasilnya adalah, Sri Lanka kini berutang 3,5 miliar dolar ke China. Bagi Beijing, misinya telah tercapai,” ujar Upadhyay.
Kemudian, atas krisis ekonomi ini, pihak yang paling disalahkan tentunya siapa lagi kalau bukan orang nomor satu yaitu Presiden Rajapaksa. Namun, kemana Xi? Kemana China? Ketika berita krisis melanda Sri Lanka, kemana tanggapan mereka?
“Bahkan tidak satu pun dari mereka mengomentari situasi di Sri Lanka,” kata Upadhyay.
China sama sekali diam seribu basa. Satu-satunya yang terdengar adalah reaksi China yang mengeluarkan peringatan dari Kedutaan Besar China di Kolombo, agar warganya melakukan tindakan pencegahan terkait kerusuhan besar yang melanda ibu kota itu.
Upadhyay kemudian juga mengaitkan apa yang disebutnya sebagai standar ganda.
“China tidak mengevakuasi orang-orangnya ketika Rusia menginvasi ukraina. Mereka juga membiarkan kedutaan mereka tetap terbuka ketika Taliban mengambil Kabul. Tetapi di Sri Lanka mereka tiba-tiba proaktif. Apa yang menjelaskan perbedaan ini? Jelas, China sebenarnya menyadari ia terlibat dalam keruntuhan Sri Lanka!” katanya.
Begitu juga yang terjadi terhadap Pakistan dan Imran Khan. China tidak berkomentar apa pun atas penggulingan Imran Khan, ‘Saudara Besi’-nya. Juga tidak ada tanggapan apa pun terkait krisis di Pakistan, negara yang selama ini setia mejadi mitranya dan membelanya dalam setiap kesmepatan.
Pakistan bahkan mengundang Menteri Luar Negeri Wang Yi dalam acara KTT OKI baru-baru ini. Namun, apa balasan China? Tidak ada. Sekedar komentar atas situasi di Pakistan pun tidak ada. ***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.