Jakarta (Riaunews.com) – Sejumlah pihak menyebut keputusan terkait 51 pegawai KPK tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) merupakan bentuk pembangkangan dan pengabaian terhadap arahan Presiden Joko Widodo hingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, pimpinan KPK bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) memutuskan 51 pegawai tak lolos TWK hanya bekerja hingga November 2021.
“Saya agak kaget dengan keputusan ini. Saya belum tahu argumentasinya, tapi seperti ada pembangkangan terhadap arahan presiden yang sudah sangat jelas,” kata Ketua Umum Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam-PBNU), Rumadi Ahmad, kepada CNNIndonesia.com, Selasa (25/5/2021)
Sebelumnya, Jokowi sempat mengatakan hasil TWK dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tak bisa menjadi dasar pemberhentian 75 pegawai yang tidak lulus tes tersebut.
Selain itu, MK, dalam pertimbangan putusannya terkait uji materi UU KPK, menyatakan alih status sebagai ASN tak boleh merugikan pegawai.
Rumadi melanjutkan pimpinan KPK harus menjelaskan kepada publik alasan utama tak meloloskan 51 pegawai KPK tersebut.
“KPK harus memberi penjelasan ke publik dan tidak bisa hanya berlindung dibalik tim assesor,” lanjutnya.
Senada, pengajar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyebut keputusan terkait 51 pegawai itu sebagai bentuk pengabaian terhadap pidato Presiden.
“Sungguh saya merasa kasihan pak presiden @jokowi sudah pidato dengan gamblang, tetap saja dicuekin dan jadikan TWK sebagai alasan memecat,” ujar dia, dalam akun Twitter-nya @zainalamochtar, Selasa (25/5).
Dia menyebut ada dua kemungkinan di balik keputusan pemecatan 51 dari 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK itu.
“Ada 2 kemungkinan; 1. Ini perintah dari yang lebih kuasa dari presiden; 2. Memang beliau sudah gak dianggap lagi oleh orang tertentu. Kira-kira siapa ya?” lanjutnya.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, mengatakan keputusan memecat 51 pegawai membangkang instruksi presiden.
“Sehingga seharusnya menurut pandangan saya, karut-marut ini dibuka ke publik dengan audit publik,” ucap Sujanarko.
Alasan BKN Tak Sesuai Hukum
Senada, dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai keputusan terkait pegawai itu merupakan pengabaian terhadap arahan Presiden, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), hingga UU KPK.
“Dugaan saya, pengabaian terhadap keputusan MK, UU KPK, Peraturan Pemerintah No. 41/2020 tentang alih status pegawai KPK, lalu saran dan masukan presiden, adalah upaya pengabaian terhadap peraturan perundang-undangan demi kepentingan merusak KPK,” cetusnya.
Dia pun menilai alasan BKN, yang memakai dalih UU Aparatur Sipil Negara (ASN), soal 51 pegawai itu tak sesuai hukum. “Apa yang dijadikan alasan oleh BKN ini tidak memiliki cara pandang hukum yang benar,” ucapnya.
Pasalnya, kata Feri, UU ASN tak mengatur alih status pegawai KPK menjadi ASN. Hal itu diatur dalam UU KPK dan PP No. 41/2020. Namun, dua peraturan itu sama sekali tak mengatur soal TWK.
“Mestinya tidak bisa menjadi landasan hukum bahkan keputusan/kebijakan dalam hukum administrasi negara. Aneh kalau kemudian itu malah jadi landasan,” terang Feri, yang juga menjabat Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas itu.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan keputusan tersebut disepakati berdasarkan pertimbangan dan pendapat dari hasil pemetaan para asesor terhadap pegawai KPK.
Hasilnya, kata dia, 24 pegawai dari 75 yang tak lolos TWK sebelumnya masih memungkinkan dibina sebelum dialih status jadi ASN. Namun, 51 lainnya tak bisa dimungkinkan melakukan pembinaan kembali.***
Sumber: CNN Indonesia