Washington (Riaunews.com) – Tudingan soal serangan salah sasaran pesawat tak berawak AS pada 29 Agustus di Kabul yang menewaskan 10 warga sipil termasuk anak-anak, akhirnya menemui titik terang.
Kepala Komando Pusat AS Jenderal Frank McKenzie mengakui kesalahan tragis tersebut di hadapan wartawan pada Jumat (17/9/2021) waktu setempat.
“Kami telah menilai, bahwa mereka yang tewas tidak terkait dengan ISIS-K atau ancaman langsung terhadap pasukan AS,” kata McKenzie, seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (18/9/2021).
“Sebagai komandan kombatan, saya bertanggung jawab penuh atas serangan ini dan akibat tragisnya,” lanjutnya.
Semula, ia dan pasukannya yakin bahwa serangan itu ditujukan untuk membasmi ancaman terhadap pasukan AS dan para pengungsi di bandara. Mereka dengan cermat memperhatikan segala gerak gerik yang mencurigakan terkait ISIS-K.
“Tetapi ternyata, itu adalah sebuah kesalahan,” ujar McKenzie dengan penuh penyesalan. Mengakui bahwa intelijennya salah memberikan informasi mengenai Toyota Corolla putih yang dikendarai pekerja sosial yang dikiranya adalah anggota ISIS-K.
Jenderal McKenzie mengatakan AS saat ini sedang mempertimbangkan untuk membayar ganti rugi.
Sementara Menteri Pertahanan Lloyd Austin mengatakan dia telah memerintahkan peninjauan menyeluruh atas penyelidikan kasus yang menampar wajah Amerika di antara kekacauan penarikan pasukannya dari Afghanistan itu.
“Kami akan meneliti tidak hanya apa yang kami putuskan untuk dilakukan – dan tidak dilakukan – pada tanggal 29 Agustus, tetapi juga bagaimana kami menyelidiki hasil tersebut,” kata Austin dalam sebuah pernyataan.
“Kami berutang itu kepada para korban dan orang yang mereka cintai, kepada rakyat Amerika dan kepada diri kita sendiri,” lanjutnya.
Sebelumnya The New York Times menulis laporan yang mengejutkan yang datang dari hasil investigasi, bahwa serangan drone AS di Kabul pada 29 Agustus lalu, yang semula diklaim Pentagon menewaskan anggota ISIS-K, ternyata korbannya adalah pekerja bantuan Afghanistan yang dipekerjakan oleh sebuah LSM Amerika beserta dua anggota keluarganya dan tujuh orang anak.
Surat kabar itu juga menemukan bahwa bertentangan dengan klaim pemerintah AS, bahwa tidak ada bukti ledakan sekunder yang menunjukkan bahwa mobil itu dicurangi dengan bahan peledak.
Pekerja tersebut, Zemari Ahmadi dari US NGO Nutrition & Education International, telah memuat kontainer berisi air ke dalam mobilnya.***