Artidjo, Hakim Agung MA yang Ditakuti Koruptor

Artidjo Alkostar
Artidjo Alkostar saat menjadi Hakim Agung MA.

Jakarta (Riaunews.com) – Anggota Dewas Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Artidjo Alkostar, wafat pada Ahad (28/2/2021). Beliau sebelumnya adalah salah Hakim Agung di Mahkamah Konstitusi dan pensiun pada 2018 silam.

Sejak beliau pensiun, para koruptor seolah ‘berpesta’ karena salah satu hakim yang mereka takuti tak bisa lagi memimpin sidang.

Ya, Artidjo dikenal sebagai Hakim Agung MA yang kerap memperberat hukuman baik di tingkat kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK).

Dikutip dari CNNIndonesia.com, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq yang hukumannya diperberat menjadi 18 tahun penjara oleh Artidjo, dari semula 16 tahun dalam kasus suap impor daging sapi.

Kemudian mantan anggota DPR Angelina Sondakh menjadi 12 tahun penjara dari 4,5 tahun dalam kasus korupsi Hambalang, serta Anas Urbaningrum yang semula vonisnya tujuh tahun diperberat menjadi 14 tahun penjara.

KPK mencatat sekitar 20 koruptor mendapat keringanan hukuman Mahkamah Agung (MA), baik di tingkat kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK), sepanjang 2019-2020. Mereka berasal dari kalangan politisi, kepala daerah, birokrat, hingga pengusaha.

Beberapa diantaranya adalah Sugiharto dan Irman, mantan pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri yang terjerat korupsi pengadaan e-KTP dan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut fenomena korting hukuman yang diberikan MA marak terjadi setelah Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun 2018 lalu.

“Jangan sampai memunculkan anekdot, hukum bukan soal hukumnya tetapi siapa hakimnya,” kata Nawawi, pada Oktober 2020 silam.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman berpendapat tren pengurangan hukuman kepada para koruptor memang mulai muncul setelah Artidjo pensiun. Sejak hakim agung itu pensiun, sejumlah terpidana korupsi juga ramai-ramai mendaftarkan kasasi maupun PK.

“Seorang hakim agung yang terkenal berani konsisten dan keras terhadap tindak pidana korupsi,” kata Zaenur.

Zaenur mengatakan pada dasarnya semua putusan hakim harus dihormati dan dianggap benar, sesuai dengan asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur. Namun, korting hukaman menjadi sebuah anomali karena marak terjadi sejak 2018.

“Pada dasarnya kan putusan pengadilan tidak perlu dikhawatirkan, tetapi dengan tren seperti ini, itu mengkhawatirkan, itu ada anomali,” ujarnya.

Berdasarkan catatan KPK, saat ini terdapat sekitar 38 narapidan korupsi sedang mengajukan PK kepada MA.

Selain faktor Artidjo, Zaenur berpendapat, tren pengurangan hukuman koruptor disebabkan juga perubahan cara pandang MA dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi. Putusan tersebut jelas mengusik rasa keadilan masyarakat.

“Yang menjadi persoalan dari putusan diskon-diskon ini kemudian mengusik rasa keadilan masyarakat dan menimbulkan banyak tanda tanya,” kata dia.

Dihubungi terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengaku tak kaget dengan fenomena pengurangan hukuman. Feri mengaku sudah menduga hal tersebut sejak jauh-jauh hari.

“Ini adalah fenomena yang sudah diduga sebelumnya ketika pak Artidjo pensiun. Ada kekhawatiran ketika itu putusan Pak Artidjo tidak akan dijadikan acuan dalam berbagai putusan terkait tindak pidana korupsi setelah itu,” kata Feri.

Feri menyebut seorang hakim pada umumnya memakai yurispudensi atau keputusan hakim terdahulu sebagai sumber hukum selain undang-undang. Menurutnya, aneh jika aparat penegak hukum yang menangani perkara korupsi tidak mengacu pada putusan terdahulu.

“Kalau terhadap kasus (korupsi) yang sama berbeda cara pandangnya maka akan menimbulkan keraguan publik apakah hukum memiliki kepastian atau tidak,” ujarnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *