Jakarta (Riaunews.com) – Transaksi mencurigakan Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan bukanlah korupsi, melainkan tindakan pidana pencucian uang.
Begitulah statemen dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD.
“Jadi tidak benar bahwa isu berkembang di Kemenkeu ada korupsi Rp 300 triliun. Itu bukan korupsi, pencucian uang,” ujarnya.
Ia menjelaskan, memang terjadi transaksi yang mencurigakan Rp 300 triliun di Kemenkeu sepanjang 2009-2023 yang terdiri dari 197 laporan dengan melibatkan 467 pegawai.
Namun kini, Polemik temuan transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih berlanjut.
Kali ini anggota Komisi III DPR mempertanyakan mengapa dokumen temuan terkait tindak pencucian uang (TPPU) bisa “bocor” ke publik.
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengatakan, mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dokumen temuan terkait TPPU seharusnya dirahasiakan. Ketentuan ini berlaku untuk semua pihak, mulai dari pegawai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) hingga menteri.
“Yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut UU ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut,” kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan kepala PPATK, Selasa (21/3/2023).
Ia pun melanjutkan ketentuan dari aturan itu yang menyebutkan, setiap orang yang melanggar ketentuan akan dikenakan hukuman. Adapun hukuman yang dikenakan berupa pidana penjara paling lama 4 tahun.
“Bagiannya yang ngebocorin berarti bukan Pak Ivan (Kepala PPATK) ya? Yang memberitakan macem-macem itu bukan dari mulutnya Pak Ivan? Bukan?” tanya Arteria.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi III DPR Benny K. Harman juga mempertanyakan apakah boleh dokumen temuan terkait TPPU dikemukakan ke publik. Sebab, ia bilang, berdasarkan ketentuan UU PPATK, seharusnya hanya menyerahkan dokumen temuan ke presiden dan DPR.
“Apakah boleh PPATK atau kepala komite itu tadi membuka ke publik? Seperti yang dilakukan oleh Pak Menko Polhukam, Mahfud MD,” katanya.
Merespons pertanyaan tersebut, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, informasi terkait temuan transaksi janggal boleh dikemukakan apabila telah menjadi perhatian publik.
Selain itu, informasi juga disebut boleh disampaikan selama tidak menyebutkan nama.
Pernyataan itu disampaikan Ivan dengan merujuk Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Dalam konteks kasus yang menjadi perhatian publik itu bisa disampaikan, tapi tidak menyentuh kasusnya,” ucap Ivan.
Sebagai informasi, isu terkait transaksi transaksi janggal, yang pada saat itu disebut Rp 300 triliun, di lingkungan Kementerian Keuangan pertama kali digulirkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada 8 Maret lalu.
Pernyataan tersebut langsung menjadi perhatian publik. Sebab, semula publik berpikir, pernyataan tersebut berarti terdapat TPPU senilai Rp 300 triliun di lingkungan Kemenkeu.
Namun, pada akhirnya PPATK memberikan penjelasan, nilai temuan tersebut bukan berarti terdapat TPPU senilai Rp 300 triliun di lingkungan Kemenkeu. Nilai tersebut merupakan nilai total data temuan indikasi TPPU yang dikirimkan PPATK ke Kemenkeu pada periode 2009-2023.***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.