Jakarta (Riaunews.com) – Kuasa hukum dosen Universitas Indonesia (UI) Sri Mardiyati, Maqdir Ismail mengungkap Kementerian Pendikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pernah meluluskan profesor hanya dalam waktu 12 hari. Hal ini menepis pendapat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Riset Dikti Kemendikbud), Nizam yang menyebut bila Sri terlambat mengajukan proses profesor ke Kemendikbud.
“Tidak ada satu ketentuan yang menentukan bahwa pengajuan Guru Besar dibatasi waktu satu tahun seperti diterangkan oleh Prof Nizam. Keterangan ini adalah sekedar dalih supaya tidak dianggap salah. Buktinya ada juga Guru Besar yang disetujui hanya dalam waktu 12 hari,” kata Maqdir Ismail kepada detikcom, Rabu (26/1/2022).
Selain itu, kata Maqdir, keterangan Prof Nizam itu adalah keterangan post factum. Kejadian penolakan permohonan Sri kami ini terjadi pada bulan Oktober Tahun 2019, ketika Prof Nizam belum menjadi Dirjendikti.
“Artinya beliau memperoleh “cerita dari orang lain” yang menganggap dirinya paling benar,” beber Maqdir Ismail.
Pihak Universitas Indonesia (UI ) sebagai pengusul sesuai dengan POPAK 2016 tidak pernah dipanggil. Seharusnya dilakukan pemanggilan sebelum dilakukan penolakan. Karena hal ini tidak dilakukan, maka tidak ada kesempatan untuk banding bagi pengusul Universitas Indonesia (UI).
“Kalau Dirjendikti mau jujur, mestinya keberatan kami terhadap Keputusan Panitia Pusat tanggal 22 Okrober 2019, dengan Surat tanggal 8 November2019, ditanggapi secara layak dan sepatutnya, dengan cara memanggil pihak Universitas Indonesia untuk audiensi,” tutur Maqdir Ismail.
Akan tetapi faktanya, kata Maqdir Ismail melanjutkan, pihak Universitas Indonesia, sepanjang dokumen yang diberikan, Sri baru diundang oleh Direktur Sumber Daya pada tangal 4 Maret 2021.
“Artinya sesudah 4 (empat) bulan dilakukan penolakan yang dilakukan dengan cara mengada-ada,” tutur Maqdir menegaskan.
Maqdir menyatakan alasan yang digunakan oleh Prof Yanuarsyah Haroen, Prof Dr Sayaiful Anwar MSi dan Prof Dr Sutikno untuk menolak kenaikan pengkat itu adalah alasan yang mengada-ada.
“Dan itu dilakukan secara pongah, tanpa dasar ilmiah dengan menggunakan argument “pokoknya harus ditolak” dan dikatakan bahwa “penulisan tidak baik karena penamaan persamaan tidak sistematis dan terlalu basic menyatakan teory genetic algorithm,” cetus Maqdir Ismail keras.
Sebab, paper Sri Mardiyati itu telah diperiksa dan dianggap layak oleh 2 orang Guru Besar Matematik ITB yaitu Prof Dr Irawati MS dan Prof Dr Edy Tri Baskoro, MSc. Selain itu paper Sri Mardiyati kan sudah diperiksa oleh editor dari jurnal yang semuanya Guru Besar Matematika dari Universitas di India, Turki, Brazil, China, Jepang dan USA. Penerbit paper ini menerbitkan junal di bidang Matematika sebanyak 17 Jurnal.
“Keterangan-keterangan pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini tidak lebih dan tidak kurang sebagai bentuk apology, bahwa mereka adalah pemilik kebenaran, tidak pernah salah, yang salah itu adalah orang lain.
Sekiranya betul mereka ingin melihat fakta yang benar tentang paper di mana klien ikut menulis dan tulisannya terindek Scopus dari tahun 2017 sampai tahun 2019 ada 23 paper. Bahkan sesudah “dipensiun” secara paksa oleh Kemendikbud tahun 2020-2021 masih ikut menghasilkan paper 10 yang terindek Scopus,” kata Maqdir Ismail menjelaskan.
“Seharusnya bela diri dengan cara tidak patut dan cenderung mengada-ada ini dihentikan oleh mereka. Mengaku saja sebagai manusia kami salah, kami khilaf, itu lebih terhormat dariipada menerangkan hal-hal yang tidak benar dan mengada-ada,” pungkas Maqdir Ismail.
Dalam sidang di MK, Kemendikbud menuding Sri Mardiyati terlambar mengajukan permohonan. Kemendikbud menyatakan berkas baru diterima beberapa pekan jelang pensiun. Sehingga saat direview dan dinilai, Sri sudah pensiun.
“Pemohon telah mengajukan prosesnya sejak 2016, tapi baru masuk kepada kementerian, 2019, ya. Nah, sehingga sudah memasuki masa, beberapa bulan masa pensiun Pemohon,” kata Irjen Kemendikbud Chatarina Girsang dalam sidang.
Sebagaimana diketahui, sidang ini diajukan oleh dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati, menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke MK dan menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbud-Ristek sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan.***