Oleh Alfiah, S.Si
Proyek ambisius IKN (Ibu Kota Nusantara) kembali menjadi sorotan. Pasalnya setelah berjalan proses pembangunan IKN. Dikutip dari Eramuslim.com edisi 28/11/2023, sampai detik ini belum ada satupun investor asing yang masuk. Para Analis menyebut kajian ulang untuk proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara perlu dilakukan. Padahal dana yang dibutuhkan untuk pembangunan IKN senilai Rp. 466 triliun. Sementara, dari laporan katadata.co.id, Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan nilai investasi di IKN telah mencapai Rp45 triliun dari dalam negeri.
Berdasarkan pemberitaan Tempo.co.id, analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita melihat dari sisi kelayakan secara bisnis dan investasi, IKN ternyata belum atau tidak layak di mata para investor asing. Menurutnya, investor asing sangat berbeda dalam melihat peluang investasi, sebab tidak memiliki clientelism atau keterkaitan ekonomi politik dengan penguasa dibanding investor dalam negeri.
Sementara menurut Otoritas Ibu Kota Nusantara (OIKN), lemahnya serapan investasi asing pada mega proyek IKN di Kabupaten Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dipicu oleh masifnya investor domestik yang lebih cepat mengambil peluang.
Investor domestik tersebut masuk ke dalam pembangunan beragam infrastruktur IKN. Deputi Bidang Pendanaan dan Investasi Otorita IKN, Agung Wicaksono, mengatakan ada sejumlah alasan investor dalam negeri lebih cepat masuk dan mengambil keputusan. Para investor dalam negeri lebih cepat dalam memahami situasi, menghitung resiko maupun profit, dan proses bisnisnya.
Sebenarnya sejak awal pembangunan IKN banyak mendapatkan kritik dari berbagai pihak karena memberikan izin hak guna bangunan (HGB) bagi investor di Ibu Kota Nusantara (IKN) selama 80 tahun dan dapat diperpanjang hingga 160 tahun. Belum lagi banyaknya bentang alam yang dipotong-potong, yang akhirnya mengancam habitat alami hutan Kalimantan dan satwa yang ada di sana.
Pakar Riset Sistem Informasi Spasial Prof. Dr –Ing. H. Fahmi Amhar pun. menilai, pemerintah sebenarnya belum siap segala hal terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Menurutnya, ketidaksiapan itu terlihat mulai dari pengesahan RUU IKN yang terkesan seperti tergesa-gesa.
Alhasil kita jadi berpikir apakah proyek IKN akan benar-benar untuk pemerataan kesejahteraan rakyat atau hanya sebatas bagi-bagi lahan proyek kepada para pengusaha. Ada benarnya pernyataan Eks gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bahwa tujuan membangun kota baru tidak akan menghasilkan pemerataan baru. Menurutnya, pembangunan kota baru hanya membuat ketimpangan dengan daerah sekitarnya.
Terkait IKN, jika tujuannya memeratakan Indonesia, maka yang harus dilakukan yakni membangun kota kecil menjadi menengah dan menengah menjadi besar di Indonesia. Jadi sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah dengan membangun IKN justru bermasalah. Langkah yang dilakukan pemerintah tidak nyambung dengan tujuannya. Karena membangun 1 kota di tengah hutan itu sesungguhnya menimbulkan ketimpangan yang baru.
Thomas Lembong dalam acara Your Money Your Vote di CNBC Indonesia, Rabu (22/11/2023) mengungkapkan Bank Dunia pada 2015 telah melakukan riset bahwa pengembangan 14 kota sekelas Jakarta membutuhkan biaya kira-kira Rp. 172 triliun. Menurut dia, jumlah penduduk 14 kota tersebut adalah 18,5 juta jiwa.
Biaya ini jelas lebih murah dibandingkan membangun 1 kota di tengah hutan. Thomas mengatakan 14 kota yang bisa dibangun itu adalah Batam, Bangka, Bogor, Pontianak, Semarang, Surakarta, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, Denpasar dan Lebak Barat.
IKN (Ibu Kota Nusantara) sebagai proyek mercusuar jelas tidak berbasis kebutuhan rakyat dan kemampuan negara. Menggantungkan biaya pembangunan pada investor adalah langkah berbahaya,. Padahal potensi modal sejatinya berlimpah,vdiantaranya dari hasil pengelolaan sumberdaya alam yang ada.
Namun lagi-lagi karena kekayaan alam juga banyak dikuasai asing jadi kecil untuk bisa diharapkan. Pelaksanaan proyek pembangunan yang bergantung pada investor apalagi investor asing, dapat menjadi ancaman bagi kedaulatan negara.
Sementara dalam sistem Islam, pembangunan sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat sehingga berbasis pada kebutuhan rakyat, yang akan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab dan perencanaan matang. Apalagi semua akan diminta pertanggungjawaban Allah SWT.
Terkait pendanaan ibu kota negara, hanya diambil melalui Kas Baitul Mall dari harta negara yang diperoleh dari Kharaj, fai, khumus, usyur, jizyah dan sumber kekayaan alam (air, tambang, hutan/padang rumput). Negara tidak akan mencari investor dari dalam atau luar negeri dalam pembiayaan ibukota. Karena ibukota negara adalah sentral suatu negara sehingga kemandirian dan bebas dari intervensi asing menjadi poin penting yang harus terwujud.
Walhasil, urgensi pemindahan ibu kota bukan urusan pindah saja, namun harus mempertimbangkan segala aspek dalam konteks pembangunan nasional. Bahkan beberapa persyaratan yang perlu menjadi pertimbangan mendasar adalah lokasi, konstitusional, stabilitas ekonomi, tahapan teknis detail perencanaan, migrasi penduduk, prioritas pembangunan, sumber dana, dan lainnya.