
Jakarta (Riaunews.com) – Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan lagi iuran kepesertaan BPJS Kesehatan di tengah pandemi virus corona atau covid-19 menjadi sorotan publik. Tak hanya akan mengangkangi hukum, kebijakan juga diterbitkan secara tak transparan.
Maklum, kebijakan diambil tak lama setelah Mahkamah Agung (MA) menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang diberlakukan Jokowi per Januari lalu tak memiliki kekuatan hukum. Setelah itu, pemerintah pernah mengungkapkan bakal menghormati putusan MA.
Tanpa diduga, penghormatan atas putusan MA tersebut hanya dilakukan selama 3 bulan saja. Melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, Jokowi memutuskan untuk kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan secara bertahap mulai Juli mendatang.
Dikutip CNN Indonesia, pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan kali ini membuktikan pemerintah lebih mengutamakan kekuasaan daripada restu publik.
Baca: Prank Itu Bernama Iuran BPJS Kesehatan
Dari sini, sambungnya, bisa dilihat bahwa Jokowi yang selama ini menjunjung perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik, justru melanggar apa yang diupayakannya sendiri. Kebijakan yang seolah dibahas dan dikeluarkan secara diam-diam itu secara nyata menunjukkan pemerintah tidak melangsungkan pemerintahan yang transparan.
“Padahal, transparansi seharusnya dilakukan sejak sebelum kebijakan dikeluarkan, kemudian disosialisasikan, dijelaskan, supaya publik tidak kaget, tidak gagap, percaya, dan mau menjalankan atau mendukung,” katanya.
Trubus khawatir, pengambilan kebijakan yang seperti ini hanya akan membuat pemerintah kehilangan kepercayaan dari publik. Bila itu terjadi, katanya, dampaknya justru hanya akan membuat pemerintah kewalahan karena kebijakan yang dikeluarkan akan terus ditentang masyarakat dan tidak bisa berjalan.
Kepastian hukum pun, sambungnya, akan sulit ditemukan di Indonesia kalau Jokowi semaunya. Lebih dari itu, pemerintah juga akan sulit menjalankan kebijakan karena tidak ada partisipasi dari masyarakat.
“Ada semacam pemaksaan kehendak negara terhadap rakyat, ini akan berdampak jadi public distrust karena tidak ada kejelasan, berubah-ubah, dan merasa tidak didengar,” imbuhnya.
Baca: Tidak menurunkan harga BBM malah menaikkan iuran BPJS, Anggota DPR : Presiden offside
Ia memberi contoh, ketika iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dinaikkan pada awal tahun ini, masyarakat melalui komunitas cuci darah langsung bergerak untuk melawan kebijakan itu dengan menggugatnya ke MA. Artinya, ketika iuran naik lagi nanti, bukan tidak mungkin hal ini akan kembali terjadi.
Apalagi, gugatan sebelumnya berhasil menang. Dan kemenangan dicapai karena MA sepakat dengan penggugat; kenaikan iuran melanggar konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan peraturan perundang-undagan lain.
“Saya yakin ini akan digugat lagi, apa pemerintah tidak lelah kalau begini? Aturannya tidak jalan terus nanti seperti ‘macan ompong’. Dampaknya pun tidak bisa dirasakan,” katanya.
Hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah kebijakan yang hanya mengandalkan kekuasaan dan tidak peduli pada restu publik justru rentan ditunggangi kepentingan politik. Memang, Jokowi tidak akan maju lagi sebagai presiden nanti, tapi bukan tidak mungkin ini bisa dimanfaatkan oleh oposisi.
“Ini memungkinkan penunggang bebas masuk untuk memanfaatkan demi kepentingan politik,” imbuhnya.
Di sisi lain, ia mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejatinya tidak tepat dilakukan sekarang. Pasalnya ekonomi masyarakat tengah tertekan dampak pandemi corona.
“Ini ibarat kado pahit jelang lebaran, waktunya tidak tepat,” ucapnya.
Baca: Naikkan kembali iuran BPJS Kesehatan pintu masuk pemakzulan Jokowi
Untuk itu, ia menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakannya. Kalau pun mendesak diubah, maka setidaknya berikan solusi lain bagi masyarakat dan tentunya sosialisasi yang gencar agar publik mengerti.
Di sisi lain, ia mengatakan kebijakan diam-diam Jokowi sejatinya bukan kali ini saja. Pada pekan ini, pemerintah dan DPR bahkan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi UU.
“Ini juga kebijakan yang terkesan diam-diam, ketika masyarakat fokus dengan hal lain, persoalan minerba ini justru disahkan. Ini bukan masalah setuju atau tidak, tapi harus transparan,” tuturnya.
Tak hanya itu, pengesahan RUU Minerba juga memberi indikasi bahwa pemerintah dan DPR tidak akuntabel. Sebab, pengesahan seharusnya disertai dengan pembahasan naskah akademik yang terbuka.
Segendang-sepenarian, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga menganggap kebijakan diam-diam memang mulai jadi kebiasaan pemerintah.
Dilakukan diam-diam karena selama ini kebijakan yang diambil pemerintahan Jokowi sering ditentang masyarakat. Masalahnya, tidak hanya transparan dengan masyarakat, namun ia menduga pemerintah juga belum sempat berkomunikasi dengan Komisi IX DPR, mitra pemerintah di legislasi bidang kesehatan.
“Semua pihak seharusnya diajak bicara juga, wacana dilempar dulu. Selain itu seharusnya ada solusi yang disiapkan,” ungkap Tauhid.
Menurutnya, kebijakan diam-diam seperti ini hanya akan membuat pemerintah kewalahan. Sebab, ia menilai akan banyak peserta yang turun kelas dari Mandiri kelas I dan II ke kelas III.
Hal ini setidaknya sudah terjadi pada kebijakan kenaikan iuran kepesertaan perusahaan peralihan PT Asuransi Kesehatan (Alkes) sejak awal tahun ini. Masalahnya, bila hal ini terjadi peserta di Mandiri kelas III akan membludak, begitu pula ketika pelayanan kesehatan harus diberikan di fasilitas kesehatan (faskes) dan rumah sakit (RS).
Padahal, belum tentu layanan kesehatan Mandiri kelas III bisa memenuhi permintaan dari peserta yang semula terbagi ke Mandiri kelas I dan II. “Nanti justru tidak bisa dilayani dengan baik, masyarakat dirugikan,” imbuhnya.
Solusinya, kata Tauhid, pemerintah perlu membatalkan lagi kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan kali ini. Bila kenaikan tetap diperlukan, maka lakukanlah dengan bertahap sehingga tidak memberi beban tambahan yang cukup berat bagi masyarakat di tengah pandemi corona.
“Tidak boleh yang namanya kesalahan lima tahun tidak juga menaikkan iuran dibayar ke masyarakat dalam satu waktu kenaikan hingga hampir 100 persen seperti ini. Beri waktu dan ruang bagi masyarakat menyesuaikan pengeluarannya,” terangnya.
Solusi lain, sambungnya, pemerintah perlu melakukan pendataan ulang bagi peserta penghuni Mandiri kelas III. Cocokkan data dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial untuk melihat mana yang benar-benar pantas dan tidak.
Bahkan, kalau perlu sesuaikan pula data kepesertaan BPJS Kesehatan dengan rekening nasabah di perbankan. Tujuannya, agar peserta yang benar-benar pantas berada di Mandiri kelas III tidak bercampur dengan mereka yang mampu dan pengambilan kebijakan bisa lebih sesuai dan tepat sasaran.
Sementara untuk kebijakan lain, Tauhid juga punya pandangan yang sama dengan Trubus, di mana saat ini banyak kebijakan pemerintah yang terkesan tidak transparan dan diambil secara diam-diam serta sepihak. Misalnya, RUU Minerba yang disahkan jadi UU dan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja yang pembahasannya tetap jalan, meski sudah ditentang sedemikian rupa.
Begitu juga dengan kebijakan lain yang sempat memunculkan gelombang demo penolakan dari mahasiswa pada beberapa waktu lalu. Ini semua menjadi bukti nyata bahwa pemerintah semakin mengandalkan kekuasaannya daripada ingin mendengarkan publik.
“Yang harus dipentingkan bukan hanya investor, pemilik saham, dan kepentingan lainnya, tapi juga dampaknya ke masyarakat, pekerja. Parlemen pun harus terbuka dan menampung aspirasi rakyat,” pungkasnya.
Sebelumnya, Jokowi memutuskan iuran kepesertaan Mandiri kelas III akan naik dari Rp25.500 per peserta per bulan menjadi Rp35 ribu per peserta per bulan atau 37,25 persen pada 2021 dan seterusnya. Lalu, tarif Mandiri kelas II akan naik dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu per peserta per bulan dan Mandiri kelas I dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu per peserta per bulan mulai Juli 2020.***