Senin, 25 November 2024

KUHP Baru Jadi Kado Manis Para Koruptor di Hakordia 2022

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 

Jakarta (Riaunews.com) – Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2022 yang jatuh pada 9 Desember Tahun 2022 ini dibayangi ironi.

Tiga hari sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghelat peringatan ini, DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menjadi UU.

Dilansir Kompas, salah satu pasal yang diatur dalam beleid yang akan menggantikan kitab produk kolonial itu, menjadi “kado manis” bagi koruptor.

Sebab, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengurangi hukuman minimal dari pencuri uang negara.

Ketentuan tentang korupsi tertuang di dalam Pasal 603-606 KUHP.

Misalnya pada Pasal 603, bagi orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi hingga merugikan negara atau perekonomian negara, diganjar penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun atau penjara seumur hidup.

Padahal di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindakk Pidana Korupsi (Tipikor), pelaku kejahatan yang sama dihukum minimal 4 tahun penjara.

Dalam pasal lain, misalnya, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap, hanya diancam pidana minimal 1 tahun dan maksimal 6 tahun penjara. Serta, ancaman denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 500 juta.

Padahal, di dalam dalam UU Tipikor, pegawai negeri atau pejabat negara yang menyalahgunakan wewenang seperti itu diganjar hukum pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Serta diancam denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Konsolidasi anti pemberantasan korupsi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pengesahan KUHP merupakan salah satu bentuk konsolidasi politik yang anti pemberantaasn korupsi yang kian kentara.

“Hampir seluruh aspek antikorupsi berhasil diruntuhkan melalui proses-proses politik, khususnya jalur legislasi,” kata Kurnia saat dihubungi Kompas.com, Kamis (8/12/2022).

Ia menambahkan, hukuman ringan dalam KUHP itu juga merupakan salah satu bentuk upaya korupsi. Tindakan semacam ini sebelumnya telah dilakukan melalui revisi UU KPK dan Revisi UU Pemasyarakatan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat ditemui di depan Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Sebagaimana diketahui, revisi UU KPK dinilai melemahkan kewenangan dan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) juga dinilai mengancam independensi KPK.

Sementara itu, revisi UU Pemasyarakatan memberikan kelonggaran bagi narapidana korupsi yang sedang menjalani masa penahanan. Mereka bisa mendapatkan remisi tanpa rekomendasi dari KPK.

“Berangkat atas persoalan ini, jika ke depan pemerintah atau DPR berbicara kembali tentang penguatan pemberantasan korupsi, sebaiknya diabaikan saja,” ujar Kurnia.

Menurutnya, klaim penguatan pemberantasan korupsi oleh pemerintah tak ubahnya merupakan kamuflase bahkan hoaks.

Bahkan, ia menyebut, Presiden Joko Widodo tidak memperbaiki upaya pemberantasan korupsi selama delapan tahun masa kepemimpinannya.

“Justru berdiri paling depan untuk meruntuhkannya bersama dengan elite politik dan DPR,” kata Kurnia.

KPK tak khawatir

Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri tidak merisaukan keberadaan hukuman ringan bagi para koruptor yang diatur dalam pasal-pasal KUHP baru.

Ketua KPK Firli Bahuri tidak mengkhawatirkan pasal dalam KUHP yang menghukum koruptor lebih ringan dari Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (8/12/2022).

Firli mempersilakan sejumlah pasal-pasal UU usulan pemerintah itu mengatur korupsi.

“Kita tidak ada kekhawatiran, boleh saja, silakan ada pasal-pasal tertentu yang mengatur tentang bisa yang disebut korupsi di KUHP,” kata Firli dalam konferensi pers di KPK, Kamis (8/12/2022).

Ia menuturkan, dalam Pasal 620 KUHP yang baru disebutkan bahwa ketika UU (KUHP) ini diberlakukan, maka ketentuan pada bab tindak pidana khusus dilaksanakan oleh lembaga negara penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam UU masing-masing.

Firli mengatakan, KPK diberi mandat oleh UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Kemudian, Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor juga mengatur kewenangan KPK.

“Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini,” bunyi pasal tersebut.

Mengacu pada dua hal itu, kata Firli, keberadaan pasal yang memuat hukuman ringan bagi koruptor tidak akan menghambat kerja-kerja pemberantasan korupsi. Sebab, KPK memiliki dasar hukum dan kewenangan sendiri.

“Tidak mengganggu terkait dengan penegakan hukum khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujar Firli.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *