Selasa, 15 Oktober 2024

Para Kades ‘Ngelunjak’ Jelang 2024: Mau Jokowi 3 Periode, Tambah Kuasa 9 Tahun

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Jokowi hadiri Silatnas Apdesi yang mendukungnya menjabat presiden 3 periode, Selasa (29/3/2023).

Jakarta (Riaunews.com) – Para kepala desa seolah makin ‘nglunjak’ di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dilansir CNN Indonesia, pada akhir Maret 2022 silam suara-suara kepala desa bergemuruh mendukung Joko Widodo agar menjadi presiden 3 periode. Dukungan tersebut digaungkan dalam Silaturahmi Nasional Desa 2022 yang digelar Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Istora Senayan.

Kala itu, Ketua Umum Apdesi Surtawijaya mengaku mendukung Jokowi lantaran politikus PDIP itu selalu mengabulkan permintaan para kepala desa.

“Apa yang kita inginkan, beliau (Jokowi) kabulkan. Sekarang kita punya timbal balik, beliau peduli sama kita. Teman-teman sepakat tadi, tiga periode, lanjutkan,” ujar Surtawijaya, 29 Maret 2022.

Deklarasi Jokowi 3 periode itu mengundang hujan kritik karena aparat desa dilarang terlibat dalam politik praktis. Kritik tersebut juga disampaikan sejumlah anggota Komisi II DPR dalam rapat dengan Menteri dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.

Namun kala itu, Tito menilai ketentuan dalam Pasal 29 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tak mengatur dengan tegas larangan kepala desa berpolitik. Katanya, UU itu hanya melarang kepala desa menjadi pengurus partai dan ikut mendukung salah satu pasangan calon saat masa kampanye.

Sedangkan, kata Tito, UU itu tak mengatur misalnya, jika kepala desa terlibat mendukung tokoh politik di luar masa kampanye. Karena itu, menurut Tito, pihaknya tak berwenang menjatuhkan sanksi kepada aparat desa yang mendukung Jokowi tiga periode.

Tito justru mengeluarkan pernyataan yang mendukung gerakan Jokowi 3 periode. Menurut Tito, amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebenarnya tidak tabu, lantaran hal itu pernah dilakukan dan tidak menyalahi aturan. Menurutnya, hal yang tabu dan tak boleh diubah hanya pembukaan UUD 45 dan kitab suci.

Berselang 10 bulan, Kepala desa yang tergabung dalam Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) ramai-ramai geruduk DPR RI. Ribuan Kades itu menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa dari yang saat ini 6 tahun menjadi 9 tahun lewat revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Salah satu demonstran, Kepala Desa Poja, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) Robi Darwis mengatakan masa jabatan selama 6 tahun kurang. Mereka berpandangan masa jabatan selama enam tahun semakin mempertajam persaingan antar Cakades. Ia optimistis, masa jabatan sembilan tahun dapat menurunkan tensi persaingan.

Usai aksi, sejumlah kades di Pamekasan Madura bahkan secara terang-terangan mengancam akan menghabisi partai politik di Pemilu 2024 yang tidak mendukung usulan perpanjangan jabatan menjadi 9 tahun.

Aksi kepala desa meminta tambah kuasa itu langsung didukung oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar. Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko juga mengklaim Jokowi setuju masa jabatan kades diperpanjang usai bertemu di Istana Negara.

Budiman juga mengaku sudah mengusulkan anggaran negara untuk desa dipecah lebih spesifik demi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) kepada Jokowi.

“Bicara banyak hal selama kurang lebih satu jam. Termasuk soal perubahan masa jabatan kepala desa dan anggaran untuk SDM desa. Karena selama ini dana desa fokus ke infrastruktur desa. Nah, itu Pak Jokowi setuju. Bisa lewat revisi UU desa atau dituangkan dalam PP,” ujar Budiman kepada CNNIndonesia.com, (17/1).

Sejumlah aksi kepala desa yang didukung pemerintah itu ditentang oleh analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun. Ia menilai wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa merusak demokrasi.

“Kalau sebagian Kepala Desa dan Budiman Soedjatmiko masih ngotot terus perpanjang jabatan kades jadi 9 tahun dan disetujui oleh Presiden pula maka ini tanda-tanda mereka perusak demokrasi,” ujar Ubedilah, Kamis (19/1).

Dirinya membantah argumen 6 tahun tidak cukup untuk membangun desa. Menurut dia, 6 tahun adalah waktu yang cukup untuk melaksanakan program-program desa dan mengatasi keterbelahan sosial akibat Pilkades.

Oleh sebab itu, menurutnya, masalah substansi yang terjadi bukan soal kurang waktu, melainkan minimnya kemampuan kepemimpinan Kepala Desa untuk melaksanakan pembangunan desa dan mengatasi keterbelahan sosial pasca pilkades.

“Jadi diperpanjang 9 tahun pun jika masalah substansinya tidak diatasi maka Kepala Desa tidak akan mampu jalankan program programnya dengan baik termasuk tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan,” ujar Ubedilah.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *