Kamis, 28 November 2024

Pemerintah diharapkan tak sekadar ‘Lip Service’ tangani kasus ABK di kapal ikan China

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

Jakarta (Riaunews.com) – Pemerintah diminta harus bergerak cepat dan serius dalam menangani isu pengeksploitasian anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan China.

“Pemerintah dan juga lembaga internasional lainnya segera melakukan koordinasi yang cepat, intens. Karena kita dalam kondisi yang tidak biasa saat ini, saat ini kita sedang dalam posisi Covid-19. Jadi banyak ABK kita yang kondisinya dulu sebelum situasi ini terjadi juga sudah dalam eksploitasi apalagi dalam kondisi seperti ini,” kata Juru kampanye Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution, dalam Diskusi Virtual, Kamis (7/5/2020).

Dia berharap pernyataan-pernyataan pemerintah terkait penanganan kasus ini bukan hanya sekedar lip service.

“Jadi responnya jangan biasa-biasa atau hanya lip service di media juga. Jadi butuh juga ada respon yang secepat (penanganan) Covid-19 juga walaupun dianggap terlambat,” tegas dia.

Bukti keseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini dapat ditunjukkan misalnya dengan melakukan update informasi secara berkala soal status penanganan kasus.

Pemerintah diharapkan tidak hanya muncul dan memberikan pernyataan hanya ketika kasus eksploitasi pekerja Indonesia muncul ke publik.

“Kita mau misalnya ada update berkala nih dari Kemlu (Kementerian Luar Negeri), dari pihak terkait bagaimana status penanganan kasusnya. Jangan hari ini muncul di media kemudian hilang, kemudian baru muncul lagi setelah teman-teman serikat mengunggah kasusnya lagi. Jadi jangan seperti itu. Kita harap ada update berkala,” tandasnya.

Seperti sedang hangat saat ini adalah ‘perbudakan’ yang dialami sejumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan China.

Kasus ini terkuak berawal dari pemberitaan stasiun televisi Korea Selatan MBC yang secara ekslusif mewawancarai sejumlah ABK Indonesia yang meminta perlindungan pada pemerintahan Korsel.

Dalam wawancara tersebut, sang ABK mengatakan pemilik kapal memaksa mereka bekerja melebihi waktu yang ditentukan.

“Terkadang saya harus berdiri selama 30 jam berturut-turut, dan baru bisa duduk istirahat ketika makanan datang setiap enam jam sekali,” ujar WNI tersebut.

Belum lagi bayaran yang mereka terima tidak sesuai dengan kontrak. Yakni hanya sekitar US$120 (sekitar Rp1,8 juta) per bulan.

Selain itu, para ABK WNI itu mengeluh mereka terpaksa harus meminum air laut yang disaring. Alhasil, sebagian jatuh sakit.

Sementara para awak dari China mendapat jatah air mineral dalam botol.

“Saya tidak bisa minum air laut yang disuling. Saya pusing. Tidak lama kemudian tenggorokan saya mengeluarkan dahak,” ujar WNI tersebut.***


Eksplorasi konten lain dari Riaunews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

 

Tinggalkan Balasan