Jakarta (Riaunews.com) – Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tengah melakoni safari mencari alat utama sistem persenjataan (alutsista) ke luar negeri. Berawal dari Amerika Serikat pada 15-19 Oktober, Prabowo melanjutkan safarinya ke Austria lalu Prancis.
Di Austria, Prabowo disebutkan bertemu menteri pertahanan negeri tersebut, Klaudia Tanner, di mana salah satu pembahasannya tentang tawaran pembelian jet tempur Eurofighter Typhoon bekas negara tersebut.
Baca: Fadli Zon Ungkap Prabowo Diundang ke AS gegara Mau Beli Senjata dari China
Perihal rencana pembelian jet tempur bekas Austria itu sendiri berawal dari surat yang dilayangkan Prabowo bertanggal 10 Juli 2020.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pertahanan Beni Sukadis mengaku kurang sepakat jika pemerintah bersikeras tetap membeli alutsista bekas itu.
“Saya kurang sepakat Kemhan membeli typhoon. Sebaiknya beli pesawat baru,” kata Beni saat dihubungi melalui pesan singkat, Kamis (22/10/2020).
Beni berpendapat Typhoon bekas Austria itu sendiri tak layak dibeli untuk memperkuat alutsista Indonesia. Ia keberatan bukan dari segi harga pembelian, melainkan biaya perawatan dan penggunaannya kelak (maintenance, repair, and operation/MRO cost). Menurutnya itu bisa memakan biaya lebih besar dibandingkan harga pembelian awal.
“Artinya MRO/maintenance, repair operation bisa jadi besar karena spesifikasi jet ini generasi lama (2000). Sekarang tahun 2020, tentu dibutuhkan suatu upaya yang lebih besar dalam pelatihan teknisi kita, dalam pemeliharaannya,” kata Peneliti Senior Marapi Consulting & Advisory tersebut.
Terkait motivasi Prabowo dalam pembelian pesawat ini, Beni melihatnya hanya sebagai langkah cepat. Prabowo, kata dia, tampak ingin membeli barang yang sudah ada dengan alasan agar segera terlihat terjadi penambahan alutsista.
Baca: Pergi ke AS, Anggota DPR yakni Prabowo Takkan Main-main dengan Jokowi
“Saya lihat misi lebih pada quick buying yakni pembelian yang sudah ada agar terlihat kita menambah kapabilitas militer kita, walaupun faktor spesifikasi teknik mungkin dikesampingkan,” ujar Beni.
Beni juga menyebut, pesawat bekas ini sebenarnya tak bisa digunakan dalam kurun waktu lama. Sebuah alat tempur memiliki jangka kadaluarsa berkaitan dengan mesin atau suku cadang (spare part).
Untuk Eurofighter sendiri, taksir Beni, paling maksimal bisa digunakan selama empat puluh tahun dengan catatan harga suku cadang dan pemeliharaan yang terus bengkak.
“Spare part makin langka. Sehingga maintenance makin mahal,” kata dia.
Sejak wacana pembelian Eurofighter Typhoon bekas ini muncul ke publik pada Juli lalu penolakan memang datang baik dari lingkaran eks militer maupun masyarakat sipil. Meski begitu, Prabowo nampak tak bergeming.
Pada 24 Juli lalu, Kemenhan menyatakan berbagai alutsista yang menjadi incaran sudah melalui kajian dan proses penyeleksian. Saat itu, Kabiro Humas Kemenhan Djoko Purwanto menerangkan kajian tersebut dilakukan pula dengan melibatkan tiap matra TNI.
Baca: Pembelian F-35 Masuk Daftar Kunjungan Prabowo ke AS
“Pasti ada plus minusnya. Kemhan juga mengkaji, TNI juga punya kajiannya karena mereka user-nya,” kata dia. “Biarkan saja ini berjalan dulu, kita lihat dulu, ke depannya mudah-mudahan akan ada yang bagus.”
Berdasarkan catatan CNNIndonesia.com, Typhoon bisa dikayakan sebagai pesawat multi-engine peran ganda, yakni tempur dan siluman. Kelas pesawat ini mungkin setara dengan keluarga SU-27 Flanker dari Russia atau keluarga F-15 Eagle dari Amerika Serikat.
Sementara itu, mengutip dari media massa lokal Austria, Kleine Zeitung, Tanner mengatakan Indonesia adalah mitra ekonomi kuat bagi negara tersebut. Tanner pun mengonfirmasi dalam pertemuan dengan Prabowo tersebut keduanya membicarakan soal pengalihan Eurofighter Typhoon.
“Kami berbicara tentang minat yang sudah disampaikan sebelumnya untuk membeli pesawat-pesawat Eurofighter kita [Austria],” kata Tanner.***