Jakarta (Riaunews.com) – Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun protes terhadap keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyetop kasus dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan dua putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Ubedilah adalah orang yang melaporkan dugaan korupsi itu ke KPK pada Januari 2022 lalu. Ubed, sapaannya, masih meyakini ada dugaan KKN dalam sejumlah perusahaan milik Gibran dan Kaesang. Dia menyayangkan sikap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menyebut dugaan tersebut sumir.
“Terhadap jawaban KPK tersebut saya menyayangkan argumen komisioner tersebut yang menyatakan bahwa tidak ada kaitanya dengan pejabat negara karena dinilai bukan penyelenggara negara. Padahal, secara nyata-nyata Gibran dan Kaesang adalah putra dari penyelenggara negara, Presiden Republik Indonesia,” kata Ubedilah melalui keterangan tertulis, Ahad (21/8/2022).
Ubedilah menyampaikan Gibran juga telah menduduki jabatan publik, yaitu Wali Kota Solo. Pada saat dilantik menjadi wali kota, Gibran masih terdaftar sebagai Komisaris PT Siap Selalu Mas dan Komisaris utama PT Wadah Masa Depan.
Selain itu, ada 20 perusahaan yang dimiliki dua putra Jokowi. Menurut Ubedilah, KPK harus memeriksa potensi KKN dalam kepemilikan perusahaan-perusahaan tersebut.
Ubedilah menilai pernyataan Ghufron soal laporan sumir juga tidak tepat. Dia berkata telah menyampaikan berbagai data dan penjelasan saat diperiksa 26 Januari 2022.
“KPK semestinya bisa menelusuri data-data awal tersebut hingga menemukan peluang untuk mengusut tuntas dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berkaitan dugaan KKN relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan tersebut,” ujarnya.
Ubed pada Januari lalu melaporkan dugaan KKN dalam sejumlah perusahaan yang dimiliki Gibran dan Kaesang.
Laporan Ubed terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan dugaan KKN dalam relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan.
Dia menerangkan duduk perkara kasus karena ada relasi bisnis antara kedua putra Jokowi dengan perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan.
Pada 2015, kata Ubed, manajemen PT BMH menjadi tersangka pembakaran hutan. Menurut dia, PT BMH merupakan milik grup bisnis PT SM.
Ubedilah menuturkan penanganan kasus pidana tidak jalan sehingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat melalui jalur perdata dengan menuntut ganti kerugian Rp7,9 triliun.
Namun, dalam perkembangannya, Mahkamah Agung (MA) hanya mengabulkan ganti kerugian sebesar Rp78,5 miliar.
“Itu terjadi pada Februari 2019 setelah anak Presiden membuat perusahaan gabungan dengan anak petinggi perusahaan PT SM,” kata Ubedilah, awal Januari lalu.
Delapan bulan setelah laporan itu Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut laporan Ubedilah sumir atau tidak jelas.
“Sejauh ini indikasi TPK [Tindak Pidana Korupsi] yang dilaporkan masih sumir, tidak jelas. Dan pelapor belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan TPK dan atau TPPU [Tindak Pidana Pencucian Uang],” kata Ghufron dalam jumpa pers kinerja semester I KPK, di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (19/8).***