Oleh M. Taufik Riyadi
BEBERAPA hari belakangan, kita sering melihat di jalan-jalan raya para pengemudi ojol melakukan aksi “ngecrek” atau memohon bantuan donasi dari masyarakat. Mereka terpaksa melakukan itu untuk mempertahankan hidup akibat terjadinya pandemik.
Pandemi Covid-19 telah menurunkan pendapatan secara drastis. Presiden Jokowi bahkan beberapa hari lalu terlihat turun tangan secara langsung membagikan sembako kepada para pengemudi ojol di pinggir jalan.
Banyak pihak secara bersama dan sendiri, orang-orang membantu pengemudi ojol. Ini semua berbeda dengan sikap aplikator yang terlihat membiarkan para pengemudi terdampar di jalanan.
Perilaku perusahaan aplikator ini membawa ingatan kita kembali ke masa lalu dimana selama ini mereka diistimewakan bersama-sama dengan gimmick penguasa mengusung gagasan “disrupsi”, “inovasi”, dan “IR 4.0”.
Sepertinya, keistimewaan tersebut, yang pernah membuat seorang menteri perhubungan menganulir keputusannya dalam hitungan jam, telah menjauhkan mereka dari kemanusiaan. Pandemi menyebabkan orang-orang yang bekerja untuk mereka, yang disebut mitra tersebut, jatuh menjadi korban.
Menyatakan diri sebagai karya anak bangsa dan menempelkan merah putih sebagai atribut jaket pengemudi tidak dengan sendirinya kita berharap bisnis super kapitalis ini akan membawa semangat kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pandemi ini mengajarkan kepada kita sebagai bangsa, kemanusiaan adil dan beradab tidak dapat dititipkan kepada gimmick kapitalis yang rakus. Model koperasi yang pernah diajarkan para pendiri bangsa harus dipertimbangkan sebagai bagian melekat di era digital.
Sikap Perusahaan
Aplikator (perusahaan pengelola aplikasi) melakukan “kampanye” yang ditujukan kepada publik pengguna ojol agar memberikan tips lebih kepada para pengemudi. Perusahaan menyampaikan narasi membangun simpati.
Tindakan ini memunculkan pertanyaan: ada dimana ya perusahaan aplikasi yang sudah mempekerjakan jutaan pengemudi-pengemudi ojol ini? Perusahaan yang diberitakan media sebagai satu-satunya decacorn di Indonesia karena valuasinya sudah mencapai 10 milliar USD.
Bahkan pertengahan bulan Maret kemarin kita juga mendapatkan informasi di media bahwa perusahaan tersebut mendapatkan suntikan dana segar dari investornya mencapai Rp18 triliun.
Pertanyaan lajutan, apa langkah-langkah yang dilakukan oleh manajemen perusahaan aplikasi untuk “mitra-mitra” mereka (baca:pengemudi ojol) dalam masa pandemi Covid-19?
Menurut berita, mereka sudah melakukan langkah melawan corona ini dengan meluncurkan dua belas program mencakup tiga area utama yang paling berdampak bagi keberlangsungan hidup mitra pengemudi, yaitu penyediaan layanan kesehatan, ringankan beban biaya harian, dan bantuan pendapatan.
Kalau kita bedah 12 program yang mereka luncurkan ternyata tidak ada program yang benar-benar bisa membantu para mitra ini secara langsung dan konkrit.
Padahal yang dibutuhkan oleh para mitra pengemudi ini sesuatu yang langsung bisa dirasakan. Misalnya dari 12 program itu ada program bantuan sembako tapi untuk usianya yang 60 tahun ke atas. Nah, bagaimana dengan pengemudi yang berusia di bawah usia 60 tahun?
Padahal berdasarkan riset yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada tahun 2018 di 9 lokasi survei, menunjukan bahwa 77% mitra pengemudi berusia 20-39 tahun.
Selanjutnya, program bantuan pembayaran pinjaman kendaraan. Sebagian besar mitra pengemudi mencicil kendaraan bermotor. Bayangkan, aplikator hanya mengumumkan secara lebih lanjut prosedur keringanan pembayaran cicilan kendaraan bagi para pengemudi di tengah ketidakpastian proses pengurusan kemudahan/penundaan cicilan. Belum terdengar suara aplikator secara tegas membela pengemudi.
Adalagi program “konyol”, yaitu penambahan fitur pada produk untuk mendukung peningkatan penghasilan driver di aplikasinya, dengan menambah opsi pilihan agar para konsumen dapat menambah tip mitra (hingga senilai Rp100.000) yang disalurkan langsung ke e-wallet mitra.
Kenapa saya bilang “konyol”? Tanpa tambahan fitur pun hampir sebagian besar konsumen sudah sering melakukan hal ini. Dan program ini menjelaskan kepada kita bahwa konsumenlah yang diminta bantuannya secara langsung oleh perusahaan ojol ini untuk membantu mitra pengemudi.
Pertanyaan mendasar, apa peran perusahaan decacorn ini buat pengemudi ojol di masa pandemik Covid-19? Walaupun tidak dapat membenarkan tindakan sebagian pengemudi ojol, kita bisa paham mengapa ada kefrustrasian.
Alih-alih mengajak komunikasi dan bersimpati, petinggi-petinggi ojol ini malah mau melaporkan keluhan mitranya ke polisi. Betapa keringnya simpati apalagi berharap adanya empati.
Jika kita berkaca ke belakang, awalnya perusahaan aplikasi ojol ini dianggap sebagai bisnis transportasi online abad ini yang murah dan memudahkan manusia untuk berpindah dibandingkan dengan bisnis transportasi konvensional yang mahal.
Para pakar ekonomi pada saat itu gencar sekali mempromosikan disruption dan mengatakan bahwa pengemudi ojol merupakan lapangan pekerjaan baru yang menjanjikan. Akan tetapi semuanya mengabaikan kenyataan hubungan pengemudi dengan aplikator yang ringkih.
Kalau kita lihat fakta hubungan atau relasi industrial antara perusahaan aplikator transportasi daring ini dengan pengemudi sangat tidak jelas.
Ketidakjelasan hubungan kemitraan antara pengemudi dan perusahaan tidak dapat disebut sebagai ikatan antara pekerja dan pengusaha sesuai UU No.13 tahun tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU Ketenagakerjaan mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Bagaimana dengan fenomena ojek online? Berdasarkan realitas di lapangan, para pengemudi ojek daring ini tidak mendapatkan gaji dari perusahaan aplikator. Sebaliknya para pengojek harus membagi 10 hingga 20 persen pendapatannya ke perusahaan.
Berapa pendapatan pengojek tergantung seberapa banyak penumpang yang bisa diantar. Perintah mengantar penumpang juga tidak datang dari perusahaan, melainkan dari penumpang dan tentu atas kesediaan pengojek.
Dalam hal ini terlihat tidak ada unsur hubungan kerja pada relasi pengojek dan perusahaan penyedia aplikasi. Dengan demikian maka disimpulkan tidak ada hubungan kerja antara pengojek dan perusahaan aplikator.
Oleh karena tidak ada hubungan kerja, maka pengojek tidak berhak menuntut hak-hak yang biasa diterima pekerja pada umumnya seperti upah lembur, jamsostek maupun pesangon jika hubungan kerjasama mereka berakhir.
Fakta ini menjelaskan, perusahaan aplikator telah “memanfaatkan celah” kekosongan regulasi hubungan industrial yang ada dengan mempekerjakan pengemudi ojol menggunakan narasi “kemitraan semu”.
Pandemi ini membuka borok kemitraan semu tersebut. Perusahaan yang bernilai triliuan membiarkan (mengabaikan) mitranya kelimpungan mempertahankan kehidupan.
Kemitraan itu harusnya mendudukkan masing-masing pihak pada posisi yang sama, akan tetapi realitas menunjukan mitra pengemudi hanya mitra pelengkap penderita karena tidak pernah dilibatkan dalam penentuan tarif dan poin.
Bahkan mitra pengemudi menjadi terpaksa harus mengikuti segala ketentuan yang ditetapkan oleh pihak perusahaan penyedia jasa aplikasi (Indyaswari and Putra 2017).
Melihat kondisi dan fakta-fakta yang ada selama ini seharusnya negara segera intervensi melindungi nasib para pengemudi ojol ini. Negara jangan mengedepankan kepentingan aplikator dengan mengijinkan para pengemudi tetap beroperasi. Pengemudi seharusnya tinggal di rumah dan biaya hidupnya didukung aplikator, yang bernilai triliuan tersebut.
Aplikator berjasa memberikan lapangan kerja dan mengatasi pengangguran. Tetapi dalam proses bisnis ojol ini akan berpotensi menjadi bisnis eksploitasi manusia oleh aplikator. Mitra pengemudi ojol semakin jauh dari sejahtera.
Sebaliknya, pemegang saham aplikator bertambah kaya karena terus memperbesar jumlah mitra. Sehingga nilai sahamnya bertambah mahal dan semakin diperebutkan di pasar. Ada benarnya, anggapan sektor transportasi menjadi antitesis dan menjadi proxy kolonialisme yang tidak disadari oleh bangsa ini.
Negara Hadir Pastikan Keadilan
Belajar dari pandemi dan nasib tragis yang menimpa pengemudi ojol membuat negara harus hadir demi keadilan untuk para pengemudi. Negara via pemerintah harus menjelaskan, apakah bisnis ojol yang mengabaikan relasi industrial yang eksploitatif akan dipertahankan dan dilanjutkan?
Jika tetap dilanjutkan, apa kompensasi dan asuransi yang harus diberikan kepada pengemudi oleh aplikator? Apakah bisnis ini akan menjadi transportasi umum yang legal atau tidak? Ini dapat memastikan hak dan kewajiban pengemudi sehingga dapat berkegiatan dalam jangka panjang.
Sementara itu, tujuan UU No.22 tahun 2009 mengenai Lalu Lintas Angkatan Jalan menjelaskan warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan. Mengapa ojol yang beresiko tinggi menjadi angkutan umum? Kalau diberlakukan dan dilegalkan, apa asuransi untuk para pengemudi dan pemumpang atas tingginya resiko tersebut? Bagaimana berbagi resiko yang adil antara pengemudi dan aplikator?
Sebagai catatan, data Korlantas Polri menunjukkan keterlibatan sepeda motor dari keseluruhan kecelakaan 2015 sebesar 70 persen, tahun 2016 sebesar 71%, dan pada tahun 2017 juga sebesar 71%.
Masa pandemi Covid-19 ini memberikan gambaran kepada kita bahwa perusahaan yang disebut decacorn atau perusahaan yang mengembangkan inovasi pada kenyataannya tidak “semulia” perusahaan konvensional yang tetap menghargai kemanusiaan.
Perusahaan decacorn ini terus menghisap tenaga pengemudi ojol tanpa memperhatikan keamanan dan kesejahteraan mitra terbaiknya. Mereka harus mengubah perilaku dengan lebih manusiawi jika tidak ingin terdisrupsi bersama pandemi!***
Penulis adalah Pemerhati Sosial
Artikel ini sudah dipublikasi di KedaiPena.com
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.