Oleh: Alfiah, S.Si
Fix!, PT Pertamina (Persero) resmi menyesuaikan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) non subsidi di masyarakat. Kebijakan tersebut dilakukan di tengah kenaikan tren harga minyak mentah dunia dan juga Contract Price Aramco (CPA) yang terus meningkat pada bulan Juli ini.
Seperti diketahui, Pertamina baru saja melakukan penyesuaian harga yang berlaku pada 10 Juli 2022 untuk LPG non subsidi. Adapun untuk LPG 3 Kg non subsidi berwarna pink dipatok menjadi Rp 58 ribu per tabung. Sementara untuk harga LPG 5,5 kg naik menjadi Rp 100.000 – Rp 127.000 per tabung. Sedangkan untuk LPG 12 kg rata-rata harganya mencapai Rp 213.000 – Rp 270.000 per tabung dilihat berdasarkan wilayahnya.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan untuk BBM Non Subsidi mengalami kenaikan karena harus disesuaikan dengan harga pasar. Meskipun realitanya, harga yang dipatok Pertamina masih di bawah harga produk BBM yang dijual badan usaha swasta lainnya. Menurutnya ketika berbicara dalam Economic Challenges, Selasa Malam (12/7/2022), harga BBM dan LPG non subsidi disesuaikan sesuai formula yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. Jadi secara berkala, jika harga minyak dunia yang juga terefleksi dengan ICP maka dengan menggunakan format tersebut, harga BBM non subsidi memang dinaikkan. Ini bisa naik dan turun menyesuaikan harga minyak mentah (cnbcindonesia.com, 13/7/2022).
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov sebelumnya menilai kenaikan harga LPG non subsidi cukup rasional dilakukan mengingat harga bahan bakunya juga mengalami kenaikan. Adapun Contract Price Aramco(CPA) pada Juli ini sudah menyentuh US$ 725 per metric ton, naik 13%.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menilai, kebijakan menaikkan harga LPG non subsidi merupakan langkah yang wajar. Komaidi optimistis, kenaikan harga pada LPG non subsidi tidak serta-merta bakal mendorong pengguna LPG non subsidi untuk beralih ke LPG subsidi. Hal ini lantaran keduanya memiliki segmen pengguna yang berbeda (kontan.co.id, 28/2/2022)
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai kenaikan harga LPG non subsidi oleh Pertamina berpotensi mendorong banyak konsumen untuk beralih menggunakan LPG subsidi, yakni LPG 3 kg alias LPG gas melon.
Benar saja, dengan adanya kenaikan harga dari LPG non subsidi, maka konsekuensinya adalah perpindahan pengguna LPG non subsidi ke LPG subsidi akan semakin besar. Hal tersebut dapat diketahui dari adanya migrasi perpindahan ke LPG subsidi sejak beberapa bulan lalu. Terutama pada periode 3 Maret – 30 April 2022, penjualan LPG 3kg bersubsidi mengalami lonjakan kenaikan hampir 2% setelah adanya kenaikan harga LPG nonsubsidi di bulan Desember 2021 dan Februari 2022.
Efek lainnya, lanjut Tulus, kenaikan harga LPG non subsidi oleh Pertamina juga berpotensi mendorong praktik pengoplosan dan bisa menimbulkan risiko keamanan. Saran Tulus, disparitas harga antara LPG subsidi dan LPG non subsidi sebaiknya diperkecil untuk mencegah risiko-risiko ini.
Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, M.Si., menilai kenaikan BBM, gas, dan TDL akan semakin mengokohkan liberalisasi baik sektor hulu maupun sektor hilir. Menurutnya, dalam pengelolaan BBM, gas, dan juga listrik, yang akan diuntungkan adalah salah satunya para kapitalis asing yang sekarang hanya diizinkan untuk menjual BBM setara pertamax.
Kenaikan harga BBM dan LPG non subsidi jelas mengkonfirmasi kebijakan negeri ini yang sangat liberal, hanya melayani kepentingan oligarki dan kehendak kapitalisme global dengan mengabaikan hak dan kepentingan rakyat. Kebijakan ini jelas kebijakan yang zalim, apalagi dengan beban kehidupan rakyat yang sudah berat akibat dampak dari pandemi yang belum sepenuhnya pulih.
Seluruh problem ekonomi yang dihadapi negara semestinya diselesaikan dengan mudah jika negara mengambil Islam sebagai solusi, sehingga kekayaan alam Indonesia yang melimpah dapat memberikan dampak kesejahteraan bagi rakyat.
Akar problem mahalnya BBM dan LPG ini sejatinya terkait sistem dan paradigma riayah (pengurusan) umat. Dalam sistem kapitalisme neoliberal saat ini, riba dan liberalisasi adalah penopang ekonomi, sedangkan hubungan negara dan rakyatnya layaknya penjual dan pembeli.
Terkait energi, Islam menetapkannya sebagai milik umat sebagaimana sumber daya air dan padang gembala (termasuk sumber daya hutan). Adapun pengaturannya adalah Islam memasukkannya dalam kerangka kewajiban negara mengurus dan menjaga umat, yakni dalam strategi politik ekonomi yang diterapkan.
Dalam pandangan Islam, BBM, gas, tambang serta sumber energi lainnya merupakan milik umum atau milik rakyat yang wajib dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat bukan kepentingan korporat Rasulullah SAW telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadits.
Dari Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi SAW pernah bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Yazid berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Az Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga hal yang tidak boleh untuk dimonopoli; air, rumput dan api.”
Anas ra juga meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas ra. Tersebut dengan menambahkan : wa tsamanuhu haram (dan harganya haram). Dari Ibnu Abbas RA berkata sesungguhnya Nabi saw bersabda; orang muslim berserikat dalam tiga halyaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir (HR Ibnu Majah).
Dalam konteks BBM, maka pemanfaatannya di bawah pengelolaan negara. Karena kekayaan milik umum ini (BBM) tidaj dengan mudah dimanfaatjan secara langsung oleh setiap individu masyarakat—
karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar. Hasilnya dimasukkan ke dalam kas negara (Baitul Maal). Negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat—untuk konsumsi rumah tangga—dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi. Namun, boleh menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi komersial.
Itulah taktik agar BBM murah, yaitu kebijakan APBN yang pro rakyat serta pengelolaan Pertamina yang profesional: bebas dari korupsi dan mafia rente. Kalau BBM dijual kepada rakyat berdasarkan harga pokok maka harganya bisa murah.
Dalam Islam, kesejahteraan rakyat orang per orang benar-benar menjadi perhatian utama. Tugas pemimpin atau negara adalah mewujudkannya dengan sempurna. Tidak boleh ada satu pun rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, mulai dari pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan sebagainya. Juga kebutuhan atas sumber-sumber energi untuk memenuhi bekal hidup sehari-hari.
Selain itu, Islam menetapkan sumber-sumber energi tidak boleh dikuasai swasta, apalagi asing, mulai hulu hingga hilir. Negara sebagai wakil umat diwajibkan mengelolanya dengan baik dan memberikan manfaatnya kepada rakyat sebagai pemiliknya yang hakiki secara mudah dan murah, bahkan gratis.
Dalam hal ini, selain kemudahan akses bagi seluruh rakyat, prinsip pengelolaan energi juga tidak boleh bertabrakan dengan amanah penciptaan manusia di muka bumi, yakni sebagai khalifah yang wajib melestarikan dan menjaga bumi dari kerusakan dan kebinasaan. Dengan demikian, eksplorasi sumber-sumber energi oleh pemerintahan Islam tidak akan menimbulkan kemudaratan sebagaimana dalam paradigma kapitalisme saat ini. Selain sangat eksploitatif, sistem kapitalisme juga sangat destruktif. Wajar jika dalam sistem ini muncul berbagai isu lingkungan, seperti efek rumah kaca, polusi, perubahan iklim, dan sejenisnya.
Negara dalam Islam pun akan menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk merealisasikan ketahanan dan kedaulatan energi ini. Dengan demikian, negara Islam akan terhindar dari ketergantungan pada negara asing dan tidak bisa didikte dengan isu energi.
Semua itu tentu ditopang dengan sistem-sistem aturan Islam yang lain, terutama sistem pemerintahan Islam yang berdaulat dan mandiri, terbebas dari intervensi asing. Juga oleh sistem ekonomi yang antiriba dan berkeadilan, serta sistem keuangan Islam (baitulmal) yang kukuh dan stabil.