
Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
DI bulan Oktober, kembali bencana banjir melanda berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Aceh Utara dan Pekanbaru. Banjir tahun ini tidak saja menggenangi jalan kota, namun turut menggenangi pusat perbelanjaan di tengah kota dan juga rumah-rumah warga. Bagaimana cara pandang sistemis agar bencana banjir terselesaikan secara komprehensif?
Banjir di Aceh utara, pada awal bulan Oktober 2022, pemerintah daerah menetapkan status darurat banjir selama 14 hari ke depan. Pasalnya, banjir yang dipicu oleh curah hujan dengan intensitas tinggi melanda wilayah Aceh Utara sejak Selasa (4/10/2022) dan ini mengakibatkan 39.847 jiwa atau 11.527 Kepala Keluarga (KK) di 15 kecamatan mengungsi. (solopos.com, 11/10/2022)
Yang terdekat saja dari Riau sendiri, yaitu Banjir di Pekanbaru. Ketika aliran air sungai sail meluap, menyebabkan puluhan rumah di Kota Pekanbaru terendam banjir, dan ini perkara berulang setiap musim hujan tiba. (pekanbaru.tribunnews.com, 04/10/2022)
Banjir ini tak hanya menyambangi rumah warga, juga pusat perbelanjaan di pasar bawah Pekanbaru dengan ketinggian air capai setengah meter. (pekanbaru.tribunnews.com, 04/10/2022)
Serta di laman resminya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menginformasikan bahwa potensi cuaca ekstrem telah terjadi sejak 2 hingga 8 Oktober 2022. Namun, pergolakan dinamika atmosfer ini diprediksi akan berlanjut hingga sepekan ke depan, yaitu mulai 9-15 Oktober 2022. Bahkan menurut Kepala BMKG, puncak cuaca ekstrem akan terjadi pada Desember nanti. (bmkg.go.id, 08/10/2022)
Indonesia sudah sejak lama termasuk wilayah potensial bencana, terutama banjir. Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang periode 1 Januari hingga 9 Oktober ini saja, sudah terjadi 2.718 kali bencana alam di Indonesia.
Di antaranya, bencana banjir terjadi 1.083 kali, tanah longsor 483 kali, dan cuaca ekstrem 867 kali. Sisanya, bencana berupa kebakaran hutan, gempa bumi, gelombang pasang, dan abrasi.
Penyebab utama banjir salah satunya dari faktor cuaca, seperti adanya fenomena La Nina, peningkatan suhu permukaan laut, perubahan pola angin, dan lain-lain.
Dalam hal ini, intensitas hujan yang tinggi, durasinya yang lama, dan frekuensi yang kian sering tanpa mampu dicegah, berpeluang besar menimbulkan bencana hidrometeorologi.
Masalahnya, bencana banjir ini bukan perkara yang pertama kali terjadi, maka munculnya risiko ekonomi dan sosial yang ditimbulkan jelas tidak terhitung lagi. Sementara masyarakat terpaksa dan dipaksa menerima keadaan, dengan dalih semua terjadi lantaran faktor alam.
Padahal, penyebab banjir tidak semata faktor alam. Jika dilakukan evaluasi, kita dapati secara kasat mata ada banyak hal yang memicu bencana ini mulai dari perilaku manusia, terutama yang terkait dengan budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan, serta dampak yang ditimbulkan dari kebijakan itu.
Namun, seberapa sering pun negara melakukan mitigasi bencana melalui BMKG yang selalu update setiap detiknya, tetap saja terlihat lamban penanganannya sehingga dampak buruk bencana yang beragam tidak terantisipasi dengan baik.
Apalagi jika bencana itu terjadi jauh di luar jangkauan akses internet, di pelosok daerah misalnya. Maka peran BMKG report via online jadinya percuma saja.
Sedangkan untuk para penguasa sendiri, sejauh ini masyarakat bisa melihat jelas bahwa penguasa malah sibuk berpolemik saat bencana sudah terjadi. Jangankan giat mencari solusi, masing-masing mereka sibuk mencari kambing hitam, bahkan saling serang antar departemen terkait. Wajar jika persoalan banjir sulit untuk diselesaikan jika cuma berharap pada satu lembaga berwenang saja semisal BMKG.
Penguasa yang lalai akan periayahan/penjagaan mereka pada rakyatnya sudah sangat jelas diingatkan oleh baginda Rasulullah SAW. sebagaimana hadist yang berbunyi :
…وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
“…Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari No. 844).
Pertanggungjawaban inilah yang menjadi PR bagi keseluruhan badan yang berwenang dalam penanggulangan bencana banjir ini termasuk pemimpin negeri ini. Sudahkah menghadirkan solusi yang komprehensif? Ataukah betah gagal mengadopsi sistem yang tak kunjung memberi perbaikan bagi negeri ini?
Atur Strategi dengan Paradigma Sistematis
Perlu kita pahami bersama bahwa bencana banjir dan bencana lainnya ini bersifat sistemis, saling berkaitan satu dengan lainnya, dan penyelesaiannya juga harus dengan solusi yang sistemis pula.
Misalnya, banjir ditenggarai oleh faktor cuaca yang kian ekstrem dan dikaitkan dengan isu perubahan iklim serta dipicu perilaku manusia yang kian rendah adabnya kepada lingkungan dan alam, termasuk eksploitatif kapitalistik yang abai terhadap kelestarian lingkungan.
Ditambah lagi dangan curah hujan yang tinggi, jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi, curah hujan tinggi tidak akan menjadi masalah pemicu bencana banjir. Namun, kenyataan disektor itulah yang kurang diperhatikan.
Allah Swt. telah menciptakan sistem hidup yang penuh keseimbangan dan harmoni dari dahulunya. Sehingga seharusnya kehadiran hujan itu mendatangkan rahmat, bukan menjadi laknat berupa bencana ekologis. Maka dari titik inilah kita harus memantik pikiran kita agar solusi tidak tumpang tindih.
Berkaca dari kian meluasnya bencana banjir, sejatinya ini menunjukkan kapitalisme telah menggurita dan mencengkeram di banyak sektor publik. Lihat saja pada eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi (penggundulan hutan), faktanya kian hari kian tak terkendali.
Permukaan tanah pun makin turun akibat eksploitasi konsumsi air tanah sebagai sumber utama penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu juga dengan sungai, kian hari volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi (pendangkalan) akibat dari hunian warga terpinggir di sepanjang daerah aliran sungai (DAS).
Maka benarlah ungkapan Global Footprint Network menyebut bahwa tahun 2020 Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. Yang maksudnya konsumsi terhadap sumber daya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia dan berdampak pada berkurangnya daya dukung alam. (ipb.ac.id, 08/02/2022)
Mirisnya, penguasa memandang sepele urusan banjir ini. Bahkan, sebagian besarnya penyebab banjir karena eksploitasi alam terjadi secara legal atas nama pembangunan. Sayangnya malah mengabaikan tata ruang dan tata wilayah. Penguasa dengan dalih kepentingan bersama, sangat profit oriented, cenderung pragmatis, dan mengedepankan ego sektoral demi keuntungan yang dinikmati sebagian pihak saja. Sedangkan masyarakat hanya dipaksa menerima dampaknya.
Semua ketidakseimbangan ini terjadi karena negara dan para penguasanya merepresentasikan kepentingan para pengusaha. Bagi mereka, keuntungan materi lebih utama dibanding soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan. Itu bukan urusan mereka.
Kalaupun mitigasi bencana diupgrade sedemikian rupa, kian terlihat jelas semuanya sekadar upaya ‘cuci tangan’. Penguasa tidak serius berusaha menyentuh akar persoalan bencana ini tadi. Terutama perihal mitigasi ternyata sangat multi-sektoral, mulai soal pendidikan, litbang, teknologi, infrastruktur, regulasi atau kebijakan, dan semua ini tentunya butuh dana besar. Padahal mitigasi ini menjadi problem besar bagi negara, menjadi beban, apalagi ketika saat ini negara tenggelam dalam utang. Sementara para kapitalis yang loyal berinvestasi, pasti punya hitung-hitungan agar modalnya kembali dengan keuntungan maksimal.
Solusi Komprehensif dengan Penertapan Sistem Islam
Dunia ini sebenarnya butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan secara diametral dengan sistem kapitalisme saat ini. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Zat Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam, yang kemudian merepresentasikan kepentingan masyarakat banyak ketimbang pemilik modal (pengusaha kapitalis).
Ajaran Islam telah tuntas mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab manusia kepada alam dinilai sebagai bagian dari iman. Didukung dengan fungsi kekhalifahan (kepemimpinan Islam) sebagai refleksi dari fungsi penghambaan, dengan begitu siapapun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam akan dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.
Penguasa (Khalifah) dalam Islam bersungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai pengurus dan penjaga umat. Semuanya sejalan dengan syariat Islam yang diterapkan secara keseluruhan aspek kehidupan. Syariat inilah yang mengatur halal haram, baik yang boleh dan yang terlarang sehingga rahmat Allah SWT. bisa dirasakan oleh seluruh alam.
Dalam Islam, ditetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Islam mengatur cara penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang, dan memberikan kewenangan pengelolaannya kepada negara sebagai pemelihara urusan rakyat. Secara tegas Islam pun akan melarang eksplorasi dan eksploitasi yang serampangan sebagaimana biasa dilakukan dalam sistem sekarang. Eksplorasi dimana-mana dan eksploitasi sehabis-habisnya lalu melupakan dampaknya.
Namun ketika sistem Islam yang ditegakkan, terjadinya bencana yang penyebabnya di luar faktor alam akan mampu diminimalisir. Oleh karena itu, seluruh bencana yang terjadi pada masa Islam memimpin benar-benar statusnya hanya sebagai musibah dan ujian, bukan akumulasi dari dampak kerakusan dan kebiadaban manusia terhadap lingkungan.
Seharusnya musibah seperti belakangan ini terulang terjadi, justru memberi hikmah yang banyak, terutama membuat umat manusia semakin dekat kepada Allah Ta’ala. Bukan malah menambah jauh umat manusia dari syariat Rabbnya. Dan penguasa seharusnya lebih peka dan lebih bersungguh-sungguh mengurus rakyatnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk mencegah terjadinya bencana, dan melakukan mitigasi sebaik-baiknya saat bencana di luar penguasaan manusia.
Cara ini telah tergambarkan, ketika Sayyidina Umar ra. begitu khawatir, suatu saat ia akan Allah tanya ketika ada kambing yang terperosok akibat jalan berlubang sedikit saja. Inilah seharusnya gambaran penguasa yang memiliki ketundukan pada penciptanya.
Dan keterlibatan kita dalam dakwah baik via tulisan, lisan, dan pergerakan dakwah di lingkungan kita, insyaallah akan menjadi penggugur dosa kita bersama akibat diamnya kita selama hidup di bawah naungan sistem kapitalisme, sekuler, dan neoliberal. Dan insyaallah ini akan menyelamatkan kita dari besarnya azab yang akan Allah timpakan kepada mereka yang durhaka. Sebagaimana firman Allah Swt.
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS Al-Anfal : 25)
Sungguh umat Islam hari ini harus segera bertobat kepada Allah Swt. karena kedurhakaan ini sudah sangat parah hingga Allah Swt. tidak henti menurunkan bencana sebagai peringatan untuk sadar, bangkit dan berbenah.
Adapun cara tobatnya adalah dengan serius berjuang mengembalikan sistem kepemimpinan Islam dengan jalan dakwah membangun kesadaran di tengah umat tentang rusaknya sistem kapitalisme, sekuler, neoliberal sekaligus sepaket dengan menjelaskan kepada umat seluruhnya tentang pentingnya bersegera hidup di bawah naungan syariat Islam.
Wallahu a’lam bish-showaf.***
Penulis pegiat literasi Islam asal Selatpanjang