Oleh: Mahmud Budi Setiawan
TIDAK TERASA, di tahun 2020 ini, Indonesia sudah merasakan kemerdekaan yang ke-75. Di antara yang terpenting dari kemerdekaan RI, menurut hemat penulis –yang kebetulan tidak bisa dirayakan sebagaimana biasanya akibat pandemi– adalah jasa negara-negara lain yang dulunya turut berkontribusi dalam mengakui kemerdekaan Indonesia, yaitu: negara Timur Tengah.
Terkait masalah jasa, sebelum lebih lanjut mengenai jasa-jasa negara Timur Tengah, ada kutipan menarik dari Soekarno (1965) yang patut direnungi, “Hanja bangsa Jang tahu menghargai pahlawan-pahlawannja, dapat mendjadi bangsa Jang besar. Karena itu, hargailah pahlawan-pahlawan kita.”
Malah menurut penulis, jika kita pandai menghargai jasa-jasa pahlawan bangsa Indonesia maupun di luarnya yang telah berjasa ke Indonesia, maka kita akan bisa menjadi bangsa yang besar.
Dalam buku Solichin Salam “Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional” (1965: 139) disebutkan fakta menarik bahwa pada 4 April 1947 Haji Agus Salim mengetuai misi delegasi Republik Indonesia ke negara-negara Islam di Timut Tengah. Dengan kepiawaian delegasi Salim dan kawan-kawan –Nazir Pamuncak, Rasjidi dan AR. Baswedan (kakek Gubernur DKI Anies Baswedan) – al-hamdulillah secara de jure negara Indonesia yang baru merdeka ini mendapat pengakuan dari negara-negara Timut Tengah.
Berikut ini secara berturut-turut data tentang negara-negara Timur Tengah yang memberikan pengakuan berdirinya negara Indonesia: Pertama, Mesir (1 Juni 1947). Kedua, Lebanon (29 Juni 1947). Ketiga, Suriah (2 Juli 1947). Keempat, Irak (16 Juli 1947). Kelima, Afganistan (23 September 1947). Keenam, Saudi Arabia (24 November 1947). Baru kemudian di susul dengan upaya delegasi ke negara lain.
Data-data ini menunjukkan bahwa secara riil dan tak terbantahkan : negara-negara Timur Tengah-lah yang pertama kali memberikan pengakuan kepada negara Indonesia. Hal ini tidak mengherankan karena mayoritas bangsa Indonesia adalah umat Islam, sehingga meminta pengakuan ke negara-negara Timur Tengah yang Islam, lebih memiliki kedekatan emosional dan ikatan keagamaan yang sama-sama membenci segala bentuk penjajahan.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Raja Farouk Mesir –sebagaimana diceritakan A.R. Baswedan– ketika menyambut delegasi Indonesia dengan cukup hangat, “Karang persaudaraan Islam-lah, terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan bangsa Indonesia dan mengakui kedaulatan negara itu.”
Itu secara global bagaimana delegasi Indonesia yang dipimpin Haji Agus Salim –yang ketika itu menjadi Menteri Muda Luar Negeri– mendapatkan sukses gemilang untuk mendapat pengakuan negara-negara Timur Tengah. Dalam buku “Seratus Tahun Haji Agus Salim” (1984: 134-136) ada kronologi singkat yang menggambarkan proses pengutusan delegasi hingga mendapat pengakuan dari negara Timur Tengah.
Pada bab yang berjudul “Surat Duta RI di Kairo” dijelaskan bahwa pada tahun 1947, Konsul Jendral Mesir yang ada di Bombay (Mohammad Abdul Moneem/Mun’im) –mewakili Liga Arab—berhasil sampai ke Yogyakarta dengan menyelundup sebagai utusan untuk menyampaikan pengakuan atas Republik Indonesia yang disepakati dalam dewan Liga Arab 18 November 1946.
Pada tahun ini juga (1947) delegasi Indonesia yang diketuai Haji Agus Salim –bersama M. Abdul Moneem—pergi ke Mesir untuk mengadakan perhubungan dengan Liga Arab selama tiga bulan. Keyakinan Liga Arab untuk mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia, tidak bisa dilepas dari sosok Abdul Rachman Azzam Pasya (Sekjen Liga Arab) yang dengan sukses bisa meyakinkan Liga Arab agar mengakui dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Walau pada awalnya upaya untuk mengirim misi ke Indonesia gagal –karena dihalang-halangi oleh Inggris– tapi pada akhirnya Abdul Muneem Bey bisa diutus hingga sampai Yogyakarta. Dengan menyamar sebagai turis –dengan segala risiko yang bisa mengancam nyawanya kapan saja—beliau sampai ke Singapura. Dari sana –dibantu oleh Ktut Tantri– ia menyewa peswat Filipina kemudian menyelundup ke Yogyakarta dengan selamat. Sampai kemudian bersama utusan Indonesia pergi ke Mesir.
Untuk melakukan misi agung ini, Azzam Pasya mendapat tantangan dan kritikan hebat. Namun, beliau dengan gigih bisa mempertahankannya. Malah pada suatu waktu ketika ditemui oleh Duta RI untuk Mesir, R.H. Abdoel Kadir, tokoh asal Negeri Kinanah yang punya kontribusi besar ini sempat berkata, “Saya akan lebih merasa beruntung kalau saya dapat ditakdirkan Tuhan melihat Indonesia sebelum saya menutup mata yang penghabisan.”
Waktu itu, saat di Mesir, Haji Agus Salim dan kawan-kawan juga mendapat dukungan dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Beliau mendapat sambutan hangat dan kekeluargaan dari tokoh seperti Hasan Al-Bana, begitu juga tokoh lain seperti Dr. Shalahuddin Bey, Nahsy Pasha dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, Mufti Palestina yang bernama Muhammad Amin Al-Husaini, jurnalis M. Ali Attahir (Palestina) juga memberi dukungan ke Republik Indonesia. Sebagai gambaran bahwa negeri Palestina yang saat ini terjajah, dulunya pernah berjasa besar dalam mengakui kemerdekaan Indonesia.
Dari fakta-fakta yang disajikan penulis, maka bangsa Indonesia dalam momen kemerdekaan Indonesia seperti saat ini untuk mengingat kembali jasa-jasa negara Timur Tengah yang secara serius memberi dukungan kepada Indonesia di saat butuh pengakuan dunia. Selain itu, kepedulian kepada negara-negara yang terjajah seperti Palestina misalnya, perlu ditingkatkan kembali mengingat pada waktu itu Palestina juga memberikan dukungannya kepada Indonesia.
Lebih penting lagi, dan tak bisa dibantah, hanya Negara Arab pada kenyataannya yang waktu itu memberi dukungan pertama kali. Adapun negara-negara Eropa dan Amerika tidak menunjukkan respon yang baik.
Malah, Inggris terlihat berusaha menghalang-halangi upaya pengakuan kemerdekaan Indonesia, apalagi Belanda. Akhirnya, negara Indonesia yang pada waktu itu tidak dikenal dalam peta oleh bangsa-bangsa dunia, akhirnya bisa dikenal dan bisa merayakan hingga pada ulang tahunnya sekarang yang ke-75.***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.