Opini  

Bukti Bobroknya Sistem, Anak Ingusan Menjadi Pelaku Kejahatan Seksual

Ina Ariani

Oleh: Ina Ariani

Hati Ibu mana yang tidak ikut hancur mendengar kisah anak ingusan menjadi pelaku kejahatan seksual. Seperti tragedi yang baru-baru ini viral di daerah Mojokerto, Jawa Timur.

Tiga orang anak SD berusia kisaran 8 tahun diduga menyetubuhi teman sepermainannya yang masih TK (usia 6 tahun) di rumah kosong.

Kronologi tersebut tidak hanya terjadi satu kali saja. Salah satu pelaku bahkan melakukan pemerkosaan sebanyak 5 kali di hari dan tempat yang berbeda. (Sumber: detik.com/jatim)

Miris melihat kondisi korban pasca mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh teman sepermainannya, Ia meninggalkan trauma dan rasa malu mendalam. Dia tidak mau pergi sekolah dan mengalami luka pada kemaluannya. Selain itu, kasus berlanjut menjadi persoalan yang semakin rumit lantaran orang tua korban dan pelaku adalah tetangga yang bersebelahan. Masih proses mencari opsi damai. (Sumber: detik.com/jatim)

Kejadian ini bagai gunung es, kasus ini karena tersorot media saja, bagai mana yang tidak tersorot hingga mencuat ke media sosial pasti banyak. Kekerasan seksual pada anak kian tahun kian bertambah dan makin marak.

KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menjelaskan secara data bahwa anak Indonesia rentan menjadi korban kejahatan seksual. Hampir 5.000 aduan sepanjang tahun 2022, paling terbanyak adalah persoalan kasus anak menjadi korban kekerasan seksual dengan jumlah 834 kasus. (Sumber: m.republika.co.id)

Bahkan anak di bawah umur menjadi pelakunya sendiri. Sungguh fakta tersebut telah menunjukkan bobroknya pengaturan sistem suatu negara dari berbagai aspek kehidupan. Khususnya dalam mengawasi dunia pendidikan anak, pengaturan perekonomian warga, dan pengaturan media yang bebas.

Lalu muncul pertanyaan lain, kenapa bisa anak sekecil itu sudah memiliki gambaran pemikiran adegan orang dewasa? Apakah terdorong dari tayangan media? Atau perilaku orang dewasa di sekitarnya yang mencontohkan? Atau minimnya pengawasan orang tuanya?

Jika lebih didalami, ternyata semua ini adalah dampak dari sistem sekulerisme kapitalisme yang diterapkan di negera ini.

Sistem hari ini memisahkan aturan agama dari kehidupan telah menjadi asas. Sehingga melahirkan paham kebebasan (liberalisme) dan menyepelekan nilai-nilai moral sampai munculnya beragam kemaksiatan. Untuk lebih jelasnya, coba kita simak beberapa aspek berikut:

1. Pengaruh Media Yang Bebas

Sebelumnya, sebagai orang tua kita harus paham suatu konsep cara kerja naluri. Bahwa setiap manusia dikaruniai oleh Allah Ta’ala berupa naluri berkasih sayang. Mudahnya, naluri ini akan bangkit jika ada rangsangan yang membangun keinginan sehingga menimbulkan rasa untuk terpenuhi. Sayangnya, konsep ini tidak diatur dengan bijak dalam sistem kehidupan kapitalisme sekuler.

Lepasnya negara dari aturan yang berasal dari Allah Ta’ala dan hanya menjadikan materi sebagai asas berperilaku, menyebabkan banyak konten yang mengandung kebebasan berekspresi, kebebasan berperilaku, kebebasan berpakaian, kebebasan berkata kasar dan lain sebagainya mudah sekali dijumpai di halaman media manapun. Inilah bentuk rangsangan dari luar yang mudah diakses oleh setiap orang yang melihatnya termasuk anak-anak.

Anak-anak zaman serba gadget akan meniru apa yang dilihatnya, yang didengarnya maupun yang dirasakannya. Termasuk konten yang mengandung unsur pornografi atau konten yang dapat merangsang naluri kasih sayang menjadi bangkit dan disalurkan saat bermain dengan teman sebayanya. Inilah bentuk pengaruh bahaya media yang tidak diatur dengan nilai agama. Semua serba bebas bahkan menjurus pada kemaksiatan.

2. Dampak Lingkungan Sekitar

Keluarga dan lingkungan masyarakat memang benar dapat memberi pengaruh besar dalam pembentukan pola pikir dan pola sikap anak.

Seperti halnya kasus ini terjadi, pelaku dan korban terbiasa ditinggal seorang diri di rumah oleh orang tuanya. Sehingga keduanya minim pengawasan orang dewasa. Kedua orang tuanya sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Padahal seharusnya rumah adalah awal mula suatu peradaban. Ibu adalah madrasah pertama bagi generasinya.

Namun sayang, dalam sistem kapitalisme, semua peran itu menjadi hilang arah dan salah tujuan. Bahkan seorang ibu digiring menjadi penggerak ekonomi hingga keluar dari fitrahnya sebagai ummun wa rabbatul bait. Alhasil, anak-anak menjadi korban kurangnya edukasi dari rumahnya.

Selain itu, kurikulum pendidikan sekolah dalam sistem kapitalisme ternyata juga tidak mampu mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi generasi yang berkualitas secara moral dan akal.

Bahkan turut menancapkan paham kebebasan dan meminimkan ajaran agama. Padahal nilai ruhiyah yang lahir dari pemahaman agama dapat mencetak generasi yang mampu menerapkan aturan Allah dalam kehidupan.

Oleh sebab itu, salah arahnya potensi generasi hari ini menjadi tanggung jawab bersama. Bukan hanya dibebankan pada individu dan anggota keluarga saja. Tetapi juga menyeluruh termasuk lingkungan masyarakat dan turut andilnya peran negara. Sebab negara adalah motor penggerak dan payungnya.

3. Kembali Pada Sistem Islam

Bukti nyata bobroknya sistem kapitalisme sekuler yang rusak dan merusak ini telah menampar kita semua untuk bersegera kembali pada sistem Islam. Sebab aturan Allah Ta’ala akan diterapkan secara menyuluruh dalam bingkai negara hanya bisa ditemui dalam sistem Islam. Asas yang dibangun pada sistem ini adalah untuk meraih rido Allah Ta’ala.

Islam akan mengatur sistem pendidikan dengan menancapkan akidah yang benar sejak dini. Mencetak anak menjadi pribadi yang taat pada Allah dan Rasul-Nya.

Memahami hakikat konsekuensi keimanan dengan terikat pada hukum syariat (aturan dari Allah). Mengenalkan batasan-batasan dalam interaksi sosial. Serta didukung dengan batasan media yang nilainya hanya mengedukasi umat untuk lebih taat.

Dukungan lainnya dari segi pengaturan perekonomian rakyat. Negara akan memfasilitasi mudahnya lapangan pekerjaan bagi seorang suami. Karena kewajiban mencari nafkah untuk keluarga adalah peran seorang suami. Sehingga peran istri akan tetap terjaga sebagai pendidik generasi di rumahnya.

Begitupun tentang kebutuhan pokok lainnya, pengaturan ekonomi dalam sistem Islam sangat mempermudah suatu keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Kesejahteraan ini telah terbukti pada masa Rasulullah memimpin sebagai kepala Negara. Dan kepemimpinan sistem Islam ini dilanjutkan oleh para sahabat setelah wafatnya Rasulullah Saw hingga ke khilafahan terakhir Turky Usmani.

Wallahu A’lam Bishashawab***

 

 

Aktivis Muslimah Peduli Pekanbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *