Oleh : Alfiah, S.Si
Gaza kembali membara. Hancur luluh lantak oleh serangan-serangan rudal Israel. Berbagai aksi penyerangan ini sungguh sangat biadab karena dilakukan pada saat rakyat Palestina menunaikan serangkaian ibadah puasa Ramadhan dan menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Praktis tak ada menu berbuka atau sahur yang menggungah selera. Cukup air putih untuk mengenyangkan dan memberi tenaga untuk menghadapi tentara Israel laknatullah. Tak ada hidangan istimewa di Hari Raya karena kurma atau roti kering sudah sangat berharga di tengah porak-porandanya Gaza dan ketidakberdayaan para pemimpin muslim dunia.
Sementara Menteri Pertahanan (Menhan) Israel menyebut serangan-serangan yang dilancarkan ke Gaza baru permulaan. Di tengah hujatan dunia internasional terhadap ketegangan yang meningkat di jalur Gaza, Presiden AS Joe Biden justru mengatakan bahwa ia tidak melihat reaksi yang berlebihan dari Israel dalam menanggapi tembakan roket dari Gaza di tengah gejolak regional terbaru.
Dalam konteks Humanitarian Law, apa yang dilakukan Israel sudah mengusik nilai-nilai kemanusiaan; sudah masuk dalam kategori crimes agains humanity sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Roma.
Namun demikian, kita tidak bisa memandang persoalan Palestina hanya sekedar persoalan kemanusiaan semata. Karena jika persoalan Palestina dijadikan hanya sebagai persoalan kemanusiaan maka standarnya adalah kemanusiaan versi Barat dengan standar gandanya. Persoalan Palestina adalah persoalan agama.
Inilah yang terjadi di Palestina. Bagaimana bisa Amerika Serikat tetap membela Israel yang telah membunuhi rakyat Gaza dan meluluh lantakkan kotanya?
Sungguh, apa yang dialami rakyat Gaza saat ini bukanlah yang pertama. Sejak jatuhnya bumi Palestina dari umat Islam, dimulailah penderitaan rakyat Palestina. Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani setelah kalah pada Perang Dunia I menjadikan tiada lagi institusi negara yang menjadi pembela Palestina.
PBB malah memberikan sebagian besar wilayah Palestina kepada Israel melalui Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1947. Tidak cukup sampai di situ, Israel malah secara sepihak memproklamasikan berdirinya negara Israel pada tahun 1948, yang seketika diakui keberadaannya oleh Amerika Serikat. Jadilah seolah Israel resmi dan diakui oleh dunia internasional.
Semenjak berdirinya negara Israel, penjajahan Israel terhadap Bumi Palestina terus berlangsung hingga kini. Berbagai serangan sepihak Israel untuk memperluas wilayahnya di Palestina terus dilakukan.
Beberapa yang menjadi catatan dunia internasional antara lain: keganasan tentara Israel pada tragedi 30 September 2000 yang dipicu oleh kedatangan mantan Menteri Pertahanan Ariel Sharon ke Mesjid Al Aqsha; kejadian pada bulan September 1996 ketika tentara Israel menewaskan 71 orang Palestina yang memprotes penggalian terowongan di bawah Masjid Al Aqsha; kejadian pada Ramadhan 1994 saat seorang Yahudi Baruch Goldstein memberondong jamaan shalat shubuh di Masjid Ibrahim di Hebron dan menewaskan 29 orang. Pada Oktober 1990 tentara Israel juga membantai 18 orang yang shalat di Masjid al-Aqsha dan melukai 150 orang lainnya.
Meski sudah sedemikian brutal tindakan Israel, PBB, yang katanya sangat menjunjung tinggi HAM, ternyata tidak berani mengeluarkan resolusi yang mengutuk tindakan Israel. PBB sulit bersikap tegas terhadap Israel karena Amerika Serikat memiliki dominasi di organisasi internasional tersebut.
Yang memprihatinkan adalah apa yang ditunjukkan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sikap OKI tidak berubah dengan sikap sebelumnya bila terjadi serangan Israel terhadap Palestina. Mereka hanya menyuarakan keprihatinan yang mendalam, mengutuk dan menyerukan bantuan bagi korban Gaza. Padahal bantuan itu pun hanya sebatas retorika belaka. Pasalnya, untuk dapat mengirimkan bantuan ke Gaza pastinya terkendala dengan pembatasan yang dilakukan oleh Israel.
Alhasil, solusi-solusi yang ditawarkan selama ini seperti solusi dua negara, solusi berupa doa dan pengiriman bantuan dana dan obat-obatan tidak mampu mengakhiri penderitaan rakyat Palestina. Israel semakin menjadi-jadi dengan kepongahan dan kebrutalannya. Oleh karena itu, tidak ada solusi yang bisa menuntaskan masalah Palestina selain dengan pengerahan tentara dari negeri-negeri Kaum Muslim hingga Zionis Israel keluar dari tanah wakaf milik kaum Muslim tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab.***
Penulis merupakan pengamat pendidikan, sosial dan ekonomi Islam