Jumat, 13 September 2024

“Digebug” Kartel Minyak Goreng, Apa Solusi Pemerintah?

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
1,1 juta kilogram minyak goreng disimpan di sebuah gudang di Deli Serdang.

Oleh : drh. Lailatus Sa’diyah

Ketika hati masyarakat mulai remuk redam dengan kelangkaan minyak goreng yang tak kunjung usai, kini “digampar” dengan temuan kasus penimbunan minyak goreng oleh oknun perusahaan maupun orang yang tidak bertanggung jawab.

Tidak tanggung-tangung, Kasatgas Pangan Polri, Irjen Helmi Santika menemukan berbagai modus pelanggaran penimbunan minyak goreng di empat provinsi. “Di Sumut ada tiga titik, di Jawa Tengah 1 titik dan di NTT dan sedang berjalan (penyelidikan) di Makassar,” kata Helmy kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (CNN 21/2). Helmi menambahkan untuk mengetahui motif tentang penimbunan minyak goreng lebih lanjut, masih dalam penyelidikan.

Pada kesempatan yang berbeda, Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan pelaku penimbunan minyak goreng dapat dijerat Pasal 107 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dengan hukuman penjara 5 tahun atau denda Rp 50 miliar. Namun sepertinya ancaman hukuman yang diberikan pemerintah tidak lantas membuat para kartel jera. Faktanya, demi keuntungan pribadi mereka berani melawan aturan pemerintah. Seakan tak ada wibawanya pemerintah di hadapan mereka.

Inilah cerminan manusia-manusia yang lahir dari rahim kapitalisme. Tabiat sistem serakah akan melahirkan orang-orang yang serakah pula. Tidak peduli harus mengorbankan kebutuhan dan kepentingan orang kebanyakan. Begitu pula hukum dan sanksi yang lahir dari sistem sekular kapitalisme dengan mudahnya diremehkan dan dilanggar semaunya sendiri. Terutama bagi mereka yang merasa sebagai pemegang kapital karena dalam Kapitalisne hukum pun bisa dibeli dengan uang.

Kasus penimbunan minyak goreng bukanlah kasus penimbunan yang pertama kali terjadi. Berbagai macam kasus penimbunan kebutuhan pokok masyarakat telah terjadi berulang kali hingga menyebabkan kelangkaan. Lantas tidakkah mereka takut dangan hukum buatan pemerintah saat ini? Bukankah ini merupakan peremehan terhadap aturan pemerintah?

Islam Vs Kapitalis Dalam Mengatasi Kelangkaan Minyak Goreng

Konsep pemerintahan dalam Islam adalah mengurusi urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasullullah : “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. al-Bukhari). Khilafah bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan rakyatnya.

Khilafah wajib mengupayakan keberadaan minyak goreng untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Serta mengontrol secara penuh dari proses produksi hingga distribusi kepada masyarakat. Pengolahan pun tidak bergantung kepada perusahaan swasta dan pasar global.

Sebenarnya, Indonesia tidak ada masalah dengan produksi minyak goreng, produksinya tetap melimpah. Namun yang membuat mahal karena produk kita harus diekspor untuk memenuhi perjanjian dagang Internasional, yang pada kondisi saat ini sedang terjadi kelangkaan secara global, alhasil Indonesia pun terdampak oleh kelangkaan itu.

Jikalau negara kita mau mengoptimalkan produksi minyak goreng untuk kebutuhan dalam negeri, niscaya kelangkaan dan mahalnya minyak goreng tidak akan terjadi. Tapi apalah daya, inilah konsekuensi perjanjian batil Pemerintah dalam perdagangan global.

Dalam Khilafah, jika terjadi kelangkaan, maka Khalifah selaku pemerintah, tidak menjadikan pematokan harga sebagai solusi. Karena hukumnya haram dalam Islam. Hal ini didasarkan apa yang disampaikan Abu Dawud dari Abu Hurairah yang berkata: Seorang laki-laki datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga!” Beliau menjawab, “Akan tetapi, saya berdoa.” Kemudian seorang laki-laki yang lain datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga!” Beliau bersabda, “Akan tetapi, Allah-lah yang menurunkan dan menaikkan (harga).” (HR Abu Dawud).

Faktanya, kebijakan subsidi kemudian digantikan dengan pematokan harga minyak goreng oleh pemerintah saat ini justru membuat kelangkaan semakin meningkat.

Jikalaupun kelangkaan terjadi karena perkara alami (kondisi alam) baik bencana alam atau gagal panen, maka Khilafah wajib mendatangkan kebutuhan pokok dari daerah lain. Sebagaimana pada masa Khalifah Umar ra. lakukan ketika beliau menjabat sebagai Khalifah di Madinah. Saat itu terjadi kelangkaan bahan makanan di Hijaz, sementara lonjakan harga terlalu tinggi hingga menyulitkan warga Hijaz untuk membelinya. Maka Umar pun mendatangkan bahan makanan tersebut dari Mesir dan Syam, yang berdampak pada turunnya harga bahan makanan di pasar tanpa adanya pematokan harga.

Rezim saat ini memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk menguasai kebutuhan pokok masyarakat. Akibatnya rakyat harus membayarnya dengan mahal. Belum lagi adanya potensi besar pengusaha yang orientasinya materi, berani bertindak sebagai kartel dan melakukan penimbunan. Baik dari produksen maupun distributor. Mereka seakan tak peduli dengan ancama hukum yang berlaku dan nasib masyarakat luas.

Penerapan aturan Islam dalam bingkai Khilafah nantinya akan menutup segala celah adanya potensi penimbunan kebutuhan pokok masyarakat. Karena ini perkara yang diharamkan. Telah diriwayatkan di dalam Shahîh Muslim dari Said bin al-Musayyib dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda: “Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan”. Disisi lain, Khilafah pun akan menjaga setiap individu agar tidak jatuh pada perbuatan dosa. Jika terjadi penimbunan, langkah Khilafah adalah dengan menjatuhkan hukuman takzir yaitu dengan memaksa para penimbun menawarkan dan menjual komoditi mereka dengan harga pasar.

Itulah perbedaan antara pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah dan Rezim berasaskan Kapitalisme dalam menyelesaikan masalah kelangkaan minyak goreng. Sebagai seorang muslim, tidakkah kita rindu hidup di bawah naungan Khilafah? Yang notabene sudah 101 tahun hilang penerapannya dari kehidupan kita.

Rekomendasi Islam Mengatasi Penimbunan

Pemerintahan Islam berdiri atas dasar penerapan Syari’at Islam secara kaffah. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam sural Al-Baqarah ayat 208 : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. Saat ini ketiadaan Khilafah, menjadi kewajiban setiap muslim untuk mewujudkannya.

Berkaitan dengan rekomendasi oleh Syeikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah dalam Media Al-Wai’e 2018, solusi teknis masalah pelanggaran penimbunan adalah:

Pertama, persoalan itu diselesaikan tanpa pematokan harga karena pematokan harga adalah tidak boleh.

Kedua, dengan (disertai) sanksi terhadap orang yang menimbun berupa sanksi ta’zîr.

Ketiga, mengharuskan penimbun untuk menawarkan barangnya di tempat dagang agar msyarakat membelinya dengan harga pasar.

Keempat, jika barang hanya ada padanya, sementara masyarakat memerlukannya maka negara wajib menyediakan barang tersebut dan berikutnya terdapat harga pasar tanpa ada seorang pedagang pun yang mengendalikan harga barang tersebut. Wallahu’alambishowab.***

 

Penulis Pegiat Literasi Islam asal Nganjuk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *