Oleh : Alfiah, S.Si
Ada-ada saja ulah para pembenci Islam. Coba mengkaitkan lembaga MUI dengan terorisme. Padahal amat konyol jika oknum melakukan kesalahan kesalahan, lantas solusi pintas dibubarkan lembaganya.
Belakangan media sosial diramaikan tuntutan agar MUI dibubarkan. Tagar #bubarkanMUI beredar luas usai Densus 88 menangkap anggota Komisi Fatwa MUI, Ahmad Zain an-Najah, pada Selasa (19/11/2021) lalu terkait dugaan keterlibatan terorisme.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Kepolisian Indonesia, Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, mengungkapkan, tiga terduga teroris yang ditangkap di Bekasi memiliki peran sebagai pengurus dan Dewan Syuro Jamaah Islamiyah (JI). Salah satu yang ditangkap merupakan oknum anggota Komisi Fatwa MUI.
Ah…lagi-lagi isu terorisme. Padahal segudang problem negeri ini yang membuat rakyat gigit jari. Kebijakan yang tidak pro rakyat, penegak hukum yang berpihak pada kapital ditambah lagi sumber daya alam yang terus dikeruk asing.
Pemangku kebijakan negeri ini, sebut saja oknum menteri justru mengambil ‘cuan’ di tengah pandemi. Bisnis PCR yang gurih memaksa rakyat harus mengeluarkan kocek jutaaan demi tes ini. Netizen berakal sehat pun koar sana-sini, akhirnya turunlah tes PCR jadi ratusan ribu. Bahkan biaya tes sebenarnya bisa hanya 10rb!.
Entah karena menutupi gonjang-ganjing isu PCR dan banjir Sintang plus Mandalika. Atau karena pemerintah sudah kalang kabut karena tak ada prestasi yang ditorehkan, jadilah jurus mabuk dikeluarkan.
Kotak amal difitnah, ulama dihina bahkan sampai pembubaran MUI diviralkan. Saya tak yakin suara rakyat yang menginginkan ini. Rakyat hanya menginginkan keadikan dan ketenangan. Konsistensi dan ketulusan ulama untuk membela negeri tak perlu diragukan lagi.
Alhasil sungguh amat naif sekali, jika MUI dikaitkan sebagai sarang teroris hanya karena ada anggotanya yang ditangkap terkait Jamaah Islamiyah. Apalagi isu-isu teroris tampaknya selalu digoreng di tengah ramainya isu yang mendiskreditkan pemerintah.
Para ulama itu pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham. Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Siapa yang mengambil ilmu itu, maka telah mendapatkan bagian yang paling banyak.
Memang, para ulama tidak dapat menggantikan para nabi, tetapi mereka berperan untuk berdakwah di jalan Allah SWT dan mengajarkan agamanya seperti para Nabi. Ini menjadi peringatan tentang perlunya menghormati ulama dan merujuk pada mereka terkait berbagai perkara dan urusan ibadah. Sebab, itu hak mereka sebagaimana hak para nabi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah.
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
Artinya: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’).
Jadi jelaslah bahwa wafatnya ulama mengindikasikan hilangnya ilmu umat manusia. Dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Stop kriminalisasi ulama jika tak ingin kehancuran dunia.***