Opini  

Habis Polemik Jilbab Terbitlah SKB 3 Menteri

skb 3 menteri
Trio Nadiem-Tito-Yaqut yang mengeluarkan SKB 3 Menteri tentang larangan mewajibkan jilbab bagi pelajar muslim.

Oleh: Alfiah, S.Si

Viral video siaran langsung pada akun media sosial Elianu Hua yang berisi percakapan antara wali murid dengan perwakilan SMK Negeri 2 Padang. Dalam video tersebut, Eliana mengatakan anaknya cukup terganggu dengan kewajiban menggunakan jilbab.

Sementara Kepala SMKN 2 Padang, Rusmiadi, mengatakan tidak ada kewajiban bagi siswi nonmuslim untuk menggunakan kerudung. Apalagi memaksa siswa nonmuslim mengenakan jilbab. Bahkan dirinya menyatakan siap untuk dipecat jika ditemukan adanya pelanggaran terkait peraturan penggunaan jilbab bagi siswa di sekolah.

Bahkan, sejak awal, Rusmiadi sudah mengingatkan bawahannya untuk tidak memaksakan siswa nonmuslim untuk berpakaian seperti layaknya siswa Muslim. Rusmiadi mengatakan bahwa pernyataan wakil kepala sekolah di video viral itu meminta agar siswa wajib mematuhi aturan sekolah, bukan menggunakan jilbab (Antaranews.com).

Alih-alih mendinginkan suasana, Mendikbud Nadiem Makarim justru memperuncing permasalah. Mendikbud berpendapat bahwa apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tersebut sebagai bentuk intoleransi atas keberagaman, sehingga bukan saja melanggar peraturan UU, melainkan juga nilai Pancasila dan kebhinekaan.

Ia menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menolerir guru atau kepala sekolah yang melakukan tindakan intoleran itu. Bahkan pihaknya akan segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan.

Pemerintah seolah cepat bertindak merespon kasus ini. Sehingga muncullah SKB 3 Menteri yang di tanda tangani Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Melalui SKB itu, ketiganya melarang semua sekolah negeri di penjuru daerah, kecuali Provinsi Aceh, membuat aturan00 yang melarang atau mewajibkan siswa dan guru memakai seragam dengan kekhususan agama.

Nadiem menegaskan keputusan soal seragam merupakan hak guru, siswa dan orang tua secara individu. Jadi dengan berlakunya SKB tersebut, guru dan siswa bebas memilih seragam dan atribut sekolahnya ketika berkaitan dengan kekhususan agama.

Akar Masalah

Pemerhati Pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji, menyesalkan sikap Mendikbud yang hanya fokus pada sanksi pada pendidik. Indra meminta agar pemerintah baik Kemendikbud maupun Pemda melakukan pengecekan dulu ke lapangan sebelum memberikan sanksi pada kepala sekolah. Ia menyatakan jika Mendikbud meminta para pendidik di SMKN 2 Padang dibebastugaskan karena mereka mengikuti aturan kepala daerah, sangatlah juga tidak bijak. Ini menyangkut nasib dan karir seseorang.

Indra menilai selama ini, Mendikbud terlalu menjaga jarak dengan insan pendidikan. Termasuk dalam kasus pada SMKN 2 Padang itu. Seharusnya, Mendikbud mengetahui bahwa para pendidik hanya menjalankan Instruksi Wali Kota Padang nomor 451.442/BINSOS-iii/2005 dan telah berjalan selama 15 tahun.

Jika Mendikbud memang peduli dengan kasus intoleransi, mengapa hanya kasus yang viral secara nasional yang ditanggapi? Bagaimana dengan kasus di SMAN 58 Jakarta dimana ada guru yang mengarahkan untuk memilih Ketua OSIS berdasarkan agamanya, atau di SD Inpres 22 Wosi Manokwari dimana ada anak yang dilarang mengenakan jilbab? Padahal, demua itu berada pada masa kepemimpinan Mendikbud Nadiem Makarim.

Solusi

Upaya untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia dengan menciptakan ekosistem yang kondusif, stabil, bermoral, dan demokratis harusnya menjadi langkah nyata Mendikbud. Mendikbud seharusnya memposisikan diri sebagai orang tua dari seluruh insan pendidikan Indonesia yang harusnya lebih membimbing dan mengayomi bukan mengintimidasi.

Mendikbud harusnya bisa menunjukkan posisinya sebagai pemimpin untuk meminta maaf kepada siswa dan orang tua yang merasa dipaksa menggunakan jilbab, tetapi dengan para pendidik di Padang harusnya ada dialog internal.

Adanya SKB 3 Menteri justru menjauhkan pendidikan dari tujuannya, yaitu mewujudkan insan yang berilmu pengetahuan, beriman dan bertakwa. Bukankah peserta didik atau pendidik yang menutup auratnya adalah unruk menjalankan perintah agamanya? Jika norma agama tidak diabaikan dalam dunia pendidikan, dikhawatirkan pendidikan hanya mencetak generasi yang miskin secara spritual. Endingnya., mereka akan menganggap agama tak perlu lagi.

Banyaknya problem yang diklaim lahir dari pemberlakuan Perda Syariat adalah bukti bahwa sistem demokrasi tidak memberi ruang bagi pemberlakuan syariat sebagai aturan publik. Islam dikerdilkan menjadi ajaran ritual sebagaimana agama lain. Islamophobia kian dihembuskan. Para da’i kian diawasi. Namun anehnya pemerintah masih melirik ekonomi Islam dengan wakaf tunainya untuk menyelamatkan ekonomi rakyat.***

Penulis Merupakan Pemerhati Pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *