
Oleh : Alfiah, S.Si
”Al-Hajju Arafah (haji adalah Arafah),” demikian sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Tarmizi, Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi fix menetapkan Hari Arafah jatuh pada Jumat, 8 Juli 2022 dan Idul Adha 1443 Hijriah jatuh pada Sabtu, 9 Juli 2022.
Dikutip dari Sindonews.com yang melansir dari Al Arabiya penetapan tanggal Hari Arafah dan Idul Adha tersebut diputuskan setelah observatorium Tamir melihat penampakan bulan sabit. Demikian laporan kantor berita resmi Arab Saudi, Saudi Press Agency (SPA), mengutip Mahkamah Agung Kerajaan.
Penetapan hari raya Idul Adha1443 H di Arab Saudi dan Indonesia berbeda 1 hari. Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) melalui sidang isbat menetapkan Idul Adha di Indonesia jatuh pada Minggu, 10 Juli 2022. (detik.com, 3 Juli 2022)
Terkait perbedaan waktu tersebut, Adib selaku Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Kementerian Agama memberikan penjelasan.
Menurutnya, perbedaan waktu tersebut disebabkan karena letak Arab Saudi yang lebih condong ke barat dari Indonesia. Selain itu, Adib menjelaskan berdasarkan data hisab pada akhir Zulkaidah 1443 H, ketinggian hilal di Indonesia antara 0 derajat 53 menit sampai 3 derajat 13 menit dengan elongasi antara 4,27 derajat sampai 4,97 derajat.
Lantas bagaimana sikap kita mengenai perbedaan ini? Apakah kita harus mengikuti Arab Saudi atau Pemerintah Indonesia? Dan bagaimana pendapat para imam mazhab terhadap hal ini?
Para ulama mujtahidin memang berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri.
Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.
Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa ber-Idul Adha pada hari yang sama.
Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata : “Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167].
Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya.
Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’.
Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib ber-Idul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata : “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).
Dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 189 Allah SWT berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”
Dalam ayat di atas, Allah seakan sengaja menampakkan bahwa munculnya hilal (bulan sabit) adalah tanda permulaan dimulainya ibadah haji. Ibadat haji berada dimana? Ibadat haji berpusat di Ka’bah, Makkah. Jadi, dalam melihat hilal untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah, maka kita harus berpedoman terhadap hilal yang berada di Makkah, tempat Ka’bah berada; sebab pelaksanaan Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) serta Idul Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah) berkaitan erat dengan ritual ibadah haji.
Dari dalil-dalil di atas amat sangat jelas bahwa umat Islam di seluruh dunia hendaknya mengikuti rukyat penduduk Makkah terkait penentuan Idul Adha. Berbagai alasan yang diberikan pemerintah atau orang-orang yang mengikutinya terbantahkan dengan dalil-dalil tersebut. Wallahu a’lam.bi ash shawab.***
Penulis pegiat literasi Islam