Opini  

HIV/AIDS Menjamur, Butuh Solusi Pergantian Sistem Seumur Hidup

Yuni Oktaviani, S.Psi

Oleh : Yuni Oktaviani, S.Psi

TAHUN berganti tahun, persoalan HIV/AIDS di Pekanbaru tak kunjung usai. Malah semakin meningkat bak jamur ketika musim hujan. Solusi yang ditawarkan pun tampaknya tidak begitu menuai hasil yang memuaskan. Siapa yang mesti bertanggung jawab? Dan apa solusi tuntas bagi masalah ini?

Diketahui Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau hingga Oktober 2022 telah ditemukan 8.034 Orang Dengan HIV/AIDs (ODHA) dan di antaranya 3.711 orang sudah dalam stadium AIDS.

Wakil Gubernur Riau, Brigjen TNI (Purn) Edy Natar Nasution menjelaskan bahwa karakteristik temuan kasus HIV dan AIDS di Provinsi Riau sudah mengarah kepada populasi umum, dengan jumlah terbesar berada di Kota Pekanbaru dengan 4.730 kasus.

Temuan kasus pada ibu rumah tangga menduduki rangking ketiga terbesar dan temuan kasus HIV terbesar banyak ditemukan pada kelompok usia produktif yakni umur 25- 45 tahun.

Wagubri menekankan, dalam upaya percepatan penanggulangan HIV/AIDS secara nasional Pemerintah telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Standar itu harus dicapai oleh Pemerintah Daerah dan sudah tertuang dalam PP Nomor 2 tahun 2018, dan pencapaian SPM jadi tanggung jawab pemerintah daerah bupati, wali kota dan gubernur.

Beliau kembali menjelaskan bahwa orang yang terdampak HIV/AIDS (ODHA) harus dilakukan pendekatan dan dirangkul untuk menanganinya agar pertolongan bisa berjalan lancar. Edukasi tentang HIV/AIDS ini perlu disebarluaskan kepada masyarakat, sebab orang yang menderita penyakit ini bukan harus dijauhi namun diarahkan untuk melakukan pengobatannya. (Riau Antara News, 18/11/2022).

 

ASAL MULA HIV/AIDS

HIV/AIDS adalah buah dari penerapan sistem Kapitalisme. Sesuai dengan nama penyakitnya, penyakit HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus atau HIV. Apabila tidak diobati, HIV dapat makin memburuk dan akan berkembang menjadi AIDS.

Sejak kemunculannya, HIV/AIDS masih terus menjadi momok menakutkan karena sampai detik ini belum ditemukan upaya pencegahan yang tepat untuk memberangus penyebarannya.

Obat yang diharapkan keberadaannya pun hanya sebatas mengurangi sakit, namun tidak mampu menyembuhkan. Tak heran, virus mematikan ini pun kian mengalami peningkatan khususnya di kota Pekanbaru.

Seperti diketahui, penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui hubungan seks, penggunaan jarum suntik, dan transfusi darah. Meskipun jarang, HIV juga dapat menular dari ibu ke anak selama masa kehamilan, melahirkan, dan menyusui, bahkan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi ketika lahir.

Berbagai cara dilakukan untuk mengurangi penyebaran virus tersebut dari penyuluhan atau edukasi ke masyarakat, sampai upaya nyeleneh menteri kesehatan dengan “pekan kondomnya”. Solutif kah upaya ini? Atau malah menimbulkan masalah baru?

Berbagai upaya pencegahan yang di ancang-ancang oleh pemerintah daerah maupun pusat, bagaikan mimpi di siang bolong. Ini terjadi ketika perzinahan masih diberi tempat seperti lokalisasi yang masih menjamur, subur secara legal.

Bahkan kini tak perlu tempat, cukup diakses melalui teknologi atau internet, prostitusi online pun kian mencuat. Belum lagi pergaulan bebas generasi mudanya buah dari liberalisasi.

Alih-alih kebebasan berekspresi, perzinahan dan pergaulan bebas justru diwadahi. Tentu saja dengan dalih aktivitas tersebut memberikan keuntungan secara materi, atau menambah devisa negeri ini. Di era inilah semua serba dikapitalisasi.

 

SISTEM ISLAM, SISTEM PREVENTIF

Berbeda dengan aturan yang diterapkan sistem kapitalisme, Islam memandang bahwa kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi negara untuk semua individu. Bukan hanya kesehatan, namun sistem ekonomi, sosial, dan politiknya turut bersinergi satu sama lain.

Contohnya saja dari sisi sistem sosial atau pergaulan. Islam memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, seperti larangan berkhalwat, ikhtilat, pacaran, dan interaksi yang tidak memiliki manfaat.

Belum lagi dari cara berpakaian, bagaimana Islam mengatur seorang perempuan untuk menutup aurat dan tidak tabarruj. Sementara laki-laki harus mampu menjaga dan menundukkan pandangan nya di hadapan perempuan yang bukan mahram tadi.

Ditambah lagi sanksi yang diterapkan oleh Islam menimbulkan efek jera bagi pelaku kemaksiatan. Bagi yang berzina akan dikenai sanksi hukum cambuk apabila belum menikah. Namun, bagi individu yang sudah menikah akan diberi hukum rajam.

Individu akan berpikir panjang sebelum melakukan zina karena sistem sanksi yang diterapkan. Sementara akses untuk melakukan kemaksiatan akan ditanggulangi atau dibatasi langsung oleh negara. Penggunaan kondom bagi pasangan yang belum menikah, lokalisasi, prostitusi online, dan sebagainya tidak akan dibiarkan merajalela dan tumbuh subur di tengah masyarakat.

Sementara bagi pasien tidak bersalah yang terkena HIV/AIDS akan diberi pelayanan kesehatan kelas 1 oleh negara tanpa dipungut biaya alias gratis, serta akan di recovery secara mental agar tetap optimis dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semua itu hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah HIV/AIDS yang berkepanjangan akan tuntas sampai akar-akarnya. Wallahu a’lam bis-showab.

Penulis, Pegiat Literasi Islam, Pekanbaru-Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *