Oleh : Alfiah, S Si
Kalau hari ini ada rezim yang ‘ngotot’ pindah ibu kota negara padahal rakyatnya untuk beli minyak goreng saja berdarah-darah, di Indonesia lah tempatnya. Bagaimana bisa UU IKN disahkan secepat kilat, sementara untuk RUU terkait hajat hidup rakyat, harus menunggu bertahun- tahun.
Asal tahu saja bahwa proses pembahasan RUU IKN menjadi rekor tercepat dalam sejarah pembuatan undang-undang. Peneliti Formappi, Lucius Karus mengatakan proses pengesahan RUU IKN hanya membutuhkan waktu efektif tak kurang dua pekan sejak tim panitia khusus (Pansus) IKN DPR dibentuk 7 Desember 2021. Luar biasa!
Wajar kita heran, ketika proyek IKN yang dikritik banyak kalangan terkesan dipaksakan untuk terus berjalan. DPR seolah tak berkutik di hadapan Presiden Jokowi meski proyek IKN baru dikritik banyak kalangan. Padahal konsep good governance dan clean goverment amat penting dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah. Padahal saat ini kondisi sosial, politik, dan ekonomi sedang tak menentu.
Baca Juga:
- Bantah Dapat Jatah Proyek, Adik Prabowo Bangun Bendungan Rp 4,7 Triliun Untuk Pasokan Air ke Ibu Kota Negara
- JK Yakin Pemindahan Ibu Kota Bakal Bermasalah: Rumit
- Normalisasi KDRT, Tutup Aib Suami atau Laporkan?
Pantaslah jika hari ini sejumlah tokoh nasional menggalang petisi menolak pemindahan dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimatan Timur. Dalam petisi yang diprakarsai oleh Narasi Institute itu disebutkan, pembangunan ibu kota negara baru di saat seperti ini tidak akan memberi manfaat bagi rakyat secara keseluruhan. Para inisiator juga beranggapan proyek IKN akan berdampak buruk terhadap lingkungan serta perekonomian negara.
Saat ini, prioritas yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah untuk memenuhi kesejahteraan dasar masyarakat, memperbaiki jalan- jalan desa yang rusak, jembatan yang putus, rumah layak huni, pembangunan sekolah, bantuan sosial dan medis serta kebutuhan asasi rakyat lainnya.
Solusi persoalan-persoalan tersebut harusnya lebih diprioritaskan ketimbang pembangunan ibu kota negara baru, terlebih di masa pandemi Covid-19 yang sangat berdampak terhadap perekonomian rakyat. Akademisi Universitas Mulawarman, Warkhatun Najidah mengungkapkan latar belakang penolakan terhadap Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang terjadi di tengah masyarakat.
Menurutnya UU IKN ini ditolak mulai dari segi tidak berjalannya uji publik dengan baik, karena tidak menerima naskah draf UU IKN lebih awal. Kedua, perlu dikritisi mengenai kejelasan wewenang dan hubungan Badan Otorita dengan Pemerintah Provinsi maupun Pemkab/Pemkot di Kaltim.
Pada akhirnya, menurut Najidah, tanpa koordinasi dengan pemerintah di daerah, IKN bukan lagi pemerataan pembangunan melainkan okupansi atau mencaplok wilayah Kaltim. IKN seperti pagar yang tidak boleh dimasuki orang Kaltim. Padahal, area IKN itu bukan lahan kosong. Ada banyak penduduk Kaltim yang bermukim di dalamnya.
Merugikan Seluruh Wilayah Kaltim
Selain itu, Najidah menilai UU IKN tidak hanya memberi dampak terhadap wilayah utama IKN, tetapi juga daerah penyangga di sekitarnya, yakni hampir seluruh wilayah Kaltim.
Tidak ada rumusan yang jelas mengenai fungsi daerah penyangga, misalnya kabupaten A untuk kawasan pangan, kabupaten B untuk industri dan seterusnya. Tanpa jaminan ini, Kaltim dikhawatirkan hanya menjadi daerah yang Sumber Daya Alam (SDA)-nya diperah sebagaimana kebijakan negara yang berlangsung bertahun-tahun ini.
Harus Ditolak
Jelaslah bahwa IKN memang proyek kejar tayang pemerintah dan butuh legitimasi politik. Mirisnya, para intelektual daerah justru dijadikan alat untuk melegitimasi sebuah produk hukum yang bias substansi dan berpotensi menzalimi. Semestinya, proyek ini harus ditolak.
Perlu ada penolakan yang lantang bukan hanya dari Fakultas Hukum, tapi masyarakat mengenai proyek ini. Karena sejatinya, bukan IKN yang dibutuhkan masyarakat Kaltim, toh jelas proyek ini menguntungkan para elit politik dan para investor yang bermain di dalamnya.
Ketika UU IKN sudah diketok palu secepat kilat, semakin membenarkan bahwa wilayah IKN tersandera dengan UU yang penuh kontroversi. Masyarakat Kaltim hanya dijadikan objek ‘penjajahan’ berkedok pembangunan Megaproyek ini. Ketika belum disahkan saja, pemerintah sudah taken MoU dengan para investor. Proyek ini sudah berjalan juga. Di sini terlihat sebenarnya Undang-undangnya memberi keuntungan pada siapa.
Pemimpin negara itu seyogyanya adalah pelayan rakyat. Bukan pelayan korporat. Jika kebijakan negara bukan untuk kemaslahatan rakyat, lantas dimana fungsi pemimpin sebagai pelayan rakyat? Sungguh pertanggungjawaban yang paling berat kelak di Hari Kiamat adalah pemimpin negara.
Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” (HR Bukhari dan Muslim).***
Penulis pegiat literasi Islam