
Oleh: Ummu Arsyila
Ibu seyogyanya adalah madrasah (sekolah) pertama dan utama bagi anaknya. Namun apa jadinya jika seorang ibu malah menyuruh anaknya melakukan tindakan tercela, seperti pencurian. Baru-baru ini, kabar yang kurang mengenakan datang dari seorang ibu yang tega menyuruh anaknya untuk mencuri handpone. Sang anakpun tanpa berat hati mengikuti perintah sang ibu. Karena ibu adalah panutan baginya, tanpa berfikir benar atau salah.
Perbuatan tercela itulah yang dilakukan seorang ibu dan anak di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Ia seharusnya memberikan didikan anaknya ke arah yang baik, namun ini justru kebalikannya.
Adalah RA (39), warga Jalan Tutwuri, Gang Dulia, Kelurahan Selatpanjang Timur, Kecamatan Tebingtinggi yang harus menanggung akibat dari perbuatan anaknya yang mencuri handphone orang lain. RA ditangkap Polsek Tebingtinggi di kediamannya Jumat (26/8) lalu sekitar pukul 19.00 WIB. Penangkapan ini dilakukan setelah korban, NA melaporkan ke Polsek pada 2 Agustus 2022.
Peran seorang ibu adalah hal yang paling penting bagi anak-anaknya. Orang tua yang menentukan kepribadian seorang anak, menjadi pribadi yang lebih baik atau justru sebaliknya, menjadi pribadi yang salah arah. Ibu adalah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya, berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya. Jadi, seorang ibu memiliki peran penting bagi perkembangan anak-anaknya. Tapi, bagaimana jika seorang ibulah yang telah menjerumuskan anaknya?
Faktor apapun yang melandasi pencurian tersebut, tetap tidak dibenarkan seorang ibu menyuruh anaknya untuk mencuri handpone. Bisa jadi tekanan ekonomi yang demikian berat melandasi perbuatan tersebut. Memang mayoritas ekonomi masyarakat saat ini sungguh sangat menghawatirkan. Berbagai kebijakan pemerintah yang tak memihak kepada rakyat seperti kenaikan BBM, naiknya berbagai kebutuhan pokok dan lain-lain menjadi faktor pemicu tingginya kriminalitas.
Apapun alasannya, semuanya adalah buah dari sistem kapitalis sekuler yang salah, sistem buatan manusia. Sistem yang lebih berpihak pada pengusaha dan penguasa. Sistem ekonomi kapitalis jelas-jelas kontraproduktif dengan sistem Islam yang datang dari Allah SWT.
Kalau saja aturan Allah SWT yang diterapkan, problem kemiskinan, kriminalitas dan masalah lain tidak akan menjadi problem yang akut. Kekayaan alam akan dikelola oleh negara dan hasilnya diserahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam kepada swasta apalagi asing. Negara juga tidak boleh memposisikan dirinya sebagai pedagang kepada rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda :
اَلْمُسْلِمُوْنَ اءُ لَاَثٍ الْكَلَإِ الْماَءِ النَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Para ulama mengatakan bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang. Jadi, hasil yang akan dihasilkan dari ketiga unsur diatas adalah untuk rakyat.
Begitu juga dengan hukum pencuri laki-laki maupun perempuan, jika mereka mencuri sudah baligh dan sudah mencapai nishab (¼ dinar, 1 dinar = 4.25 gr emas), maka mereka akan mendapatkan hukuman potong tangan. Hukumannya pun harus disaksikan khalayak ramai. Hal itu bertujuan agar pelaku mampunyai efek jera dan yang melihat juga tidak akan berani mencuri, karena sudah tahu hukumannya. Sebagaimana firman Allah SWT.
السَّارِقُ السَّارِقَةُ اقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا اۤءًۢ ا ا الًا اللّٰهِ اللّٰهُ
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”(QS Al-Ma’idah : 38).
Meski demikian, ada saat-saat hukuman potong tangan tidak diberlakukan. Suatu hari, beberapa pembantu Hatib bin Abi Balta’ah ketahuan mencuri seekor unta milik seorang pria asal Muzainah. Seorang warga setempat lantas membawa para pencuri yang tertangkap basah itu kepada Khalifah Umar.
Sang amirul mukminin lantas menggelar sidang untuk mengadili perkara tersebut. Umar lantas mengetahui, mereka melakukan perbuatan buruk itu karena terpaksa. Sebab, mereka sudah kelaparan dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Umar bahkan mengimbau Abdurrahman bin Hatib agar membayar dua kali lipat harga unta yang dimiliki orang Muzainah itu. Dengan demikian, status unta tadi menjadi halal–yakni tak lagi sebagai barang curian. “Sebab, Hatib yang telah berbuat demikian sehingga mereka terpaksa mencuri. Mereka dalam kondisi kelaparan dan perbuatan ini dilakukannya hanya sekadar bertahan hidup,” kata Umar.
Kebijakan Umar ini bukan tanpa didasari nash. Ia justru mengambil petunjuk dari Alquran. Yakni, surah al-Baqarah ayat 173. Artinya, “…jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.”
Pernah dalam masa pemerintahannya, kaum Muslimin diuji dengan wabah dan kelaparan. Gagal panen melanda sebagian provinsi sehingga orang-orang kesulitan hanya untuk mengganjal perut lapar. Maka, Umar pun tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri, yakni mereka yang mencuri hanya untuk bertahan hidup. Pada saat yang sama, Umar membuka Bait al-Maal untuk menyalurkan bantuan kepada warga yang membutuhkan.
Wallahu a’la bi’ashowab…***
Penulis pegiat literasi Islam asal Rohil